Hari ini Dirgantara tidak masuk kuliah. Konon dia sedang menemani Opa pergi mengurus bisnis. Ya sudah, tidak masalah. Wildan tampak menungguku di gerbang kampus saat aku datang bersama Abang.
Agak lucu juga disambut seseorang. Bisanya saat baru datang langsung ngeloyor ke kelas. Lalu, tidur sembari menunggu Dirgantara tiba.
"Morning, Mi. Dirga bilang suruh nemenin lu sampai dia pulang. Gila, kemaren minta traktir di hokben, sekarang jadi babysitter."
Aku tersenyum culas. "Tahu gitu aku bawain celemek sama botol minum. Kapan lagi dijagain sama panglima tauran?"
"Pengen maki, tapi lu cewek. Berasa makin jatuh harga diri gue. Ayo, ah, masuk kelas. Males banget gue berdiri di gerbang kayak gini. Berasa sok romantis," gerutu Wildan.
"Hari ini ada berapa mata pelajaran?"
"Gak lihat matkul?"
Wildan menggeleng polos. "Daripada buka matkul mending tidur sampai pagi. Semalem gue ditantang lagi buat bawa basis. Dirayu-rayu, katanya masa gue tega biarin sekolah legend kalah di jalur. Berhubung udah taubat jadi gue balas aja, bodoamat, gitu."
"Bagus, kalau temenan sama aku harus jauh-jauh dari kekerasan. Alergi."
"Kayak Dirga gak pernah berantem aja."
"Ada, tapi di belakang aku. Malah gak tahu kapan dia gelut, pas balik udah bonyok aja."
"Makin kuat gak dia?"
"Kurang tahu, Wil. Seumur-umur yang pernah aku lihat berantem itu cuma kamu. Didi gak pernah."
"Penasaran gimana kondisi lawannya pas kena bogem."
"Itu dia!" Aku tepuk tangan sekali. "Yang aku khawatirin bukan Didi. Justru korbannya. Syukur kalau biru-biru, ini takutnya pada patah tulang." Kayak kata Pak Alex kemarin.
Kami berjalan beriringan. Seperti biasa, orang-orang kekurangan asupan tontonan melotot sampai hampir keluar biji matanya.
Wildan melirik kiri kanan dengan tatapan risih. Ia memang bukan Dirgantara yang bisa cuek di segala suasana.
Kelas tampak berisik. Ada yang main lempar pesawat kertas, kejar-kejaran, jebret teman pakai karet, menyanyi dengan penghapus papan sebagai mik, intinya hanya aku dan Wildan yang dewasa di sini.
Bangku yang tersisa ada di belakang. Senyumku mengembang. Tempat paling strategis dan menyenangkan.
"Kemaren pas gue kawal di jalur, lu berdua pada mau ke mana?"
"Keliling Jawa."
"Serius?"
"Iya, minta liburan dia."
"Berdua doang lu?"
"Ya, gak, lah. Ada. sopir sama istrinya. Bisa digorok emak gue kalau pergi berdua."
"Bagus, gue kasih tahu, ya. Cewek yang seksi sama gak jaga diri emang disukai sama cowok. Buat ngisi kekosongan sebelum nikah. Tapi, pas mau nikah yang cowok cari tetap yang belum terjamah. Lu baik, suami lu baik. Lu shalihah, suami lu juga shalih."
Wow, impresif.
Aku tertawa kecil. "Aku salut sama panglima tauran yang satu ini. Taubatnya beneran, ya, Wak."
"Berisik, ah. Dibilangin juga. Lu ada minta oleh-oleh gak sama Dirga?" tanya Wildan sambil merebahkan kepala di meja.
"Gak, ngapain minta? Dia selalu ingat gue di mana pun berada. Jadi, ya, aman."
"Ya, bagus. Gue mau beli minum, lu mau nitip apa?"
"Apa, ya? Air lemon sama roti aja. Sekalian siomay, bubur ayam, tambahin air mineral. Yang dingin, ya, Wildan. Engkaulah sahabat terbaik aku. Makasih banyak," ujarku sok kalem sembari membuka dompet. "Ini duitnya. Eh, kok, hilang?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Dirgantara [Tamat]
Teen FictionCatatan dari Mikhaela untuk Dirgantara Sengaja kutulis ini agar orang-orang tahu bagaimana sulitnya menjadi kita, terutama kamu. Cerita ini juga akan menjadi penebus rinduku yang menggebu-gebu. Apalagi sejak hari itu, kita tidak pernah bertemu lagi...