DG.17

4 1 0
                                    

Semalam suntuk aku tak tidur demi mendengar segala keluh kesah Dirgantara. Subuh, saat dia terlelap mataku masih betah terjaga. Menatap ruangan hotel berinterior mewah membuat diri ini merasa hina. Selama ini aku selalu dimanjakan oleh kebaikan Opa dan Omanya Dirgantara.

Sekolah dibiayai, jajan dikasih tiap bulan, sampai ingin dibelikan mobil yang langsung ditolak sama Emak sebab takut memiliki barang mewah di rumah.

Apa kata tetangga yang bisa saja mendadak jadi cenayang tingkat dunia?

Menjelang pagi dering ponsel mengejutkanku yang baru saja bisa tidur. Saat membuka mata, Dirgantara sudah rapi dan wangi, tangannya meraih benda pipih canggih dan menempelkannya ke telinga. Hingga beberapa menit lamanya, dia tak bersuara. Aku bangun dengan cepat lalu merebut ponsel dari tangannya.

Sederet nomor yang memberi ingatan pada sosok yang masih harus kuberi pelajaran mengundang kegeraman luar biasa.

"Jangan-pernah-hubungi-Dirgantara! Siamang!" umpatku penuh penekanan.

Dirgantara masih diam di tepi tempat tidur. Menatap lurus pada mobil-mobil yang berdesakan di jalanan sana. Akan tetapi, fokusnya tak di sana. Tatapan kosong itu membuatku gusar bukan main. Lagi-lagi kecolongan. Gabriel menjadi sosok baru menyebalkan.

Sepulang dari sini aku harus pergi menemuinya dan mencabut dua gigi depannya supaya berhenti berbicara omong kosong. Dia kurang kerjaan sekali sampai rela mengurusi hidup orang lain.

"Mi, aku ... apa aku kelihatan gak berguna di mata kamu? Aku cowok, tapi gak bisa melindungi diri sendiri," lirihnya sendu.

"Kata siapa? Tenang aja, nanti si Gabriel bakal nyesal udah berani ngusik kamu!" dengkusku sebal. "Dasar cowok mental cewek! Beraninya mengganggu orang aja!"

"Jangan kayak gini, Mi!" jeritnya tiba-tiba. Dirgantara berdiri dan menjauh dariku.

Aku kaget. Jantungan. Syok. Mendadak gagap.

"Jangan nunjukin sikap kayak gitu! Aku cuma jadi beban kamu aja. Jangan peduli sama aku terus menerus, nanti kamu gak akan pernah bisa pergi, Mi. Nggak akan bisa."

Ya Tuhan, ada sesuatu yang menghantam telak ulu hati saat menyaksikan Dirgantara kembali kacau. Dia beringsut semakin jauh saat aku dekati. Gabriel siamang itu benar-benar pecundang. Aku tak akan pernah berhenti mengumpat sampai dia kejang-kejang karena sekarat.

Kepanikan menjalar ke seluruh tubuh saat Dirgantara berlari ke kamar mandi dan mengunci dirinya sendiri di sana.

"Didi, buka pintunya, dong! Masa aku dikunciin dari luar, sih?"

Dalam kondisi seperti ini aku harus tenang. Pura-pura pun tak apa asal tak tersulut emosi. Ibarat kata, Dirgantara adalah porselen yang mudah pecah bila membawanya dengan tak hati-hati. Sikap gegabah hanya akan membuat penyesalan tak berarti.

"Pergi, Mi! Pergi!" usirnya dari dalam.

"Aku perginya sama kamu. Gak punya uang juga. Gak mungkin pulang ke Jakarta jalan kaki. Nanti kalau betis aku berubah segede atlet bagaimana?"

Rayuan demi rayuan terus keluar. Tetap berpikir jernih, Mikaela.

"Ada dompet di kamar aku. Ambil uangnya terus pergi!"

"Jadi sedih gara-gara diusir Didi. Ya udahlah, kamu maunya aku pulang gak apa-apa. Nanti kalau misalkan aku diculik, dimutilasi, dibuang ke sungai secara terpisah aku pasrah aja. Daripada keki terus ... "

Ucapanku terhenti saat sepasang tangan melingkari pinggang. Alhamdulillah, akhirnya strategi ini berhasil tanpa harus heboh-heboh memanggil tim SAR atau pemadam kebakaran karena satu anak mengunci diri di kamar mandi. Diam-diam aku mengulum senyum, tak boleh ketahuan, nanti bisa merajuk lagi.

Dirgantara [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang