Azan Zuhur menunda perjalanan sejenak. Untung saja cepat menemukan rest area terdekat. Aku dan Pak Alex bergegas turun supaya tak ketinggalan jamaah. Meninggalkan Dirgantara yang sedang terlelap di dalam mobil dibungkus selimut tebal bergambar tim bola kesayangan.
Sebagai cowok normal tentu saja dia cinta bola, hanya tak pernah berkumpul dengan beberapa orang guna saling berdebat siapa paling hebat.
"Aku pengen ke Aceh, Mi. Menyaksikan sendiri kemegahan mesjid yang dibangga-banggakan mereka!" ujarnya spontan saat aku membuka pintu mobil.
Mataku melebar saking terkejutnya. Belum sampai Jakarta sudah mau pergi-pergi lagi, Dirgantara benar-benar sudah melupakan pendidikannya dan hanya mau liburan saja.
"Kamu harus daftar kuliah, Di. Libur kuliah baru jalan-jalan lagi." Dia menggeleng, aku juga balas menggeleng. "Gak boleh bantah. Oke? Kamu mau turun?"
"Untuk apa?" Suaranya terdengar malas-malasan.
"Salat."
Wajahnya keruh seketika. Dia masih belum mau kembali melaksanakan ibadah karena memendam luka teramat besar nan menganga. Aku sendiri belum menemukan cara menariknya kembali ke jalan yang benar.
Ah, tidak.
Dirgantara tak pernah keluar jalur, selalu berusaha menjaga diri. Hanya saja dia kesulitan melakukan hal yang sudah lama tak dilakoni. Memaksa sama saja menekan dia. Aku tak mau seperti itu.
Dirgantara bukan orang biasa. Penanganannya berbeda. Sekali saja salah sentuh, semua pertahanan dirinya akan rapuh. Lalu, dia selamanya akan kehilangan kontrol alias depresi. Bukan itu yang kami inginkan selama ini.
Gila kalau aku menghancurkan harapan banyak orang serta merubuhkan kembali usaha berbulan-bulan hanya karena sebuah pemaksaan.
"Gak apa. Kamu lapar gak?"
Aku mengalihkan perhatian dengan mengikat tali sepatu pemberian Oma bulan yang lalu. Harganya jangan ditanya. Kakiku saja masih kejang-kejang menggunakan barang mahal, maklum terbiasa hidup sederhana.
"Gak. Tadi pas kalian ke sana aku makan ini." Ia mengangkat sebungkus keripik kentang yang sudah kosong. "Masih tahan sampai beberapa jam ke depan."
"Aku tanya, soalnya Pak Alex lagi mampir di rumah makan samping mesjid. Mungkin kamu lapar jadi bisa ikut turun," ulasku sembari menepuk-nepuk pipi tampan Dirgantara.
A, kadang masih terasa seperti mimpi bisa dekat dengannya. Setelah semua teman-teman di kelas mengatakan mustahil bisa. Nyatanya sekarang aku sedang bersama dia.
Jeda beberapa saat. Dia tampak melamunkan sesuatu yang entah aku sendiri belum tahu apa. Mau bertanya agak segan. Takut mengacaukan isi pikiran. Lagipula selama Dirgantara tak memikirkan ucapan Gabriel lagi, sah-sah saja membangun khayalan.
Selama masih wajar, toh, selama ini Dirgantara menghabiskan waktu untuk terus menerus sembunyi di balik kelamnya kenangan. Tak mau bertemu orang baru, sekalinya keluar kelas malah baku hantam.
Aku mengelus surai hitamnya agar bocah tersayang nyaman. Ia balas menyentuh mataku yang katanya menghitam. Tentu saja, semalam tak tidur sebab mendengar dirinya bercerita.
"Sebenarnya aku pengen ke sana." Dia memulai pembicaraan. "Ngadu, bertanya, dan minta jawaban pada semua kejadian yang harus banget aku alami. Tapi, rasanya malas karena pasti yang aku dapati hanya sunyi. Kekosongan gak berarti."
"Ibadah itu bisa menenangkan hati, Di. Salat bisa mengurangi dosa, ngaji bikin tenang, sedekah bisa bikin efek bahagia yang luar biasa dan puasa menjadikan kita lebih kuat dari sebelumnya. Semua yang dilakukan atas perintah Tuhan selalu mendatangkan kebaikan pada manusia itu sendiri. Dari kamu, untuk kamu." Aku mengusahakan suara selembut mungkin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dirgantara [Tamat]
Teen FictionCatatan dari Mikhaela untuk Dirgantara Sengaja kutulis ini agar orang-orang tahu bagaimana sulitnya menjadi kita, terutama kamu. Cerita ini juga akan menjadi penebus rinduku yang menggebu-gebu. Apalagi sejak hari itu, kita tidak pernah bertemu lagi...