Bibirku rasanya mau jatuh mendengar Dirgantara berucap kalimat mengerikan seperti itu. Alih-alih menawarkan hubungan pertemanan malah minta jadi babu. Jacob dan Qandila mengembuskan napas kasar, mengangkat bahu maklum.
Aku melirik sekilas, lalu menepuk pipinya dua kali. Walaupun semua orang sudah paham pada sifat Dirgantara, bukan berarti dia boleh tetap berlaku menyebalkan begini. Saat matanya menatap polos rasanya ingin jungkir balik saja.
Sangat menggemaskan, pemirsa!
"Sekaya apa pun kamu, aku tetap ogah disuruh jadi babu," semprot Qandila terlalu gemas.
"Apalagi aku. Mending jaga toko sama bunda seharian daripada jadi babu," sambung Jacob yakin.
Aku baru tahu Jacob punya toko. Ditilik dari penampilannya, sepertinya toko yang dimaksud bukan 'toko' yang sama dengan isi otakku. Bisa saja isinya barang mewah. Perabot impor, baju impor, pokoknya impor semua. Jangan lupa harganya pasti sebanding dengan rumahku serta isinya.
"Jangan tersinggung, ya? Didi gak bermaksud buat suruh kalian jadi babu. Dia cuma bercanda. Ya, kan, Di?" Aku memberi kode pada bocah itu untuk segera mengklarifikasi.
"Apa?" Dirgantara balas menatap.
"Ayolah, kamu pasti bisa!"
"Mereka gak mau."
"Gimana bilang mau kamu aja nawarin jadi babu." Aku bersungut-sungut.
Dua orang di depanku tak peduli pada perdebatan kami. Jemari aktif menari di atas laptop. Mungkin pikir mereka, lebih berguna menyelesaikan tugas ketimbang dengar drama tak penting. Padahal ini sangat bagus untuk perubahan Dirgantara ke depannya.
Akan tetapi, anak ini susah sekali diberi tahu. Sudah gengsi selangit, malas se-bumi. Astaga, sabar. Mikhaela tak boleh emosi sebab ini Dirgantara. Bukan orang lain yang boleh diperlakukan semena-mena. Lukanya tak boleh mencuat kembali ke muka. Tak boleh!
"Aku tahu kamu mau ngomong apa," ucap Jacob sambil bertopang dagu--matanya lurus menghujam di manik mata Dirgantara.
"Mau ajak kami berteman, tapi gengsi. Benar, kan?" imbuhnya.
Dirgantara menggenggam tanganku lebih erat. Hatinya pasti kejang ditembak tepat sasaran seperti itu. Aku mengulum senyum tipis.
Ayo, Di! Kamu bisa!
"Gak, aku mau kalian jadi babu!" Dirgantara melengos.
Qandila mengalihkan mata dari layar laptop. Menatap kami berdua penuh minat. Matanya berbinar-binar seperti bocah dapat es krim dari ibunya. Aku kembali duduk dan mengetik tugas yang belum sempat terjamah sejak tadi dengan tangan kanan. Tangan kiri sedang digenggam Dirgantara.
Tak apa, kali ini dia harus belajar mengendalikan situasi dan masalah secara mandiri. Anggap saja aku batu, meja, kursi, atau apa saja asal bukan manusia.
"Benar begitu, Dirga? Kamu mau kita berteman? Serius?" jerit Qandila kegirangan.
"Bilang aja. Gak usah malu," timpal Jacob lagi.
"Ya ampun! Aku senang banget akhirnya kita bakal berteman. Ini, tuh, kayak mimpi tahu gak? Mikhaela, ini bukan mimpi, kan?" Qandila masih heboh.
Aku mengangkat bahu acuh pertanda tak mau ikut campur.
"Dosen kayaknya gak sia-sia menyatukan kita dalam tugas kelompok kali ini."
"Jacob, kita harus jalan-jalan. Merayakan pertemanan!"
"Atur aja. Aku malas ribet sama soal begituan. Kalian?"
Tangan Dirgantara terasa dingin. Saat aku lihat, wajahnya pucat. Dia terlihat tak nyaman diteror terus menerus oleh pertanyaan Jacob dan sambutan berlebihan dari Qandila. Ini bukan kebiasaannya. Sudah lama memilih sendiri, tiba-tiba harus berteman lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dirgantara [Tamat]
Teen FictionCatatan dari Mikhaela untuk Dirgantara Sengaja kutulis ini agar orang-orang tahu bagaimana sulitnya menjadi kita, terutama kamu. Cerita ini juga akan menjadi penebus rinduku yang menggebu-gebu. Apalagi sejak hari itu, kita tidak pernah bertemu lagi...