DG.23

2 2 0
                                    

Tadi sore Oma meneleponku dengan suara riang--hampir menangis. Banyak bertanya soal perubahan Dirgantara. Anak itu katanya makin hangat, bahkan minta diajarkan salat.

Jantungku berdetak sangat cepat saat mendengar permintaan yang tak pernah aku kira akan disuarakan sampai akhir hayatnya.

Tuhan memang sangat sayang pada anak itu. Sedikit pun aku tak meragu. Ketika Dia telah menetapkan kadar ujian, sama sekali tak pergi meninggalkan hamba dalam kesulitan.

Dirgantara bukti ke sekian. Malam ini aku menyantap menu sederhana dengan kebahagiaan bintang lima.

Emak dan Bang Khalil sampai bergidik geli. Mungkin mereka kira aku sedang demam. Atau kena penyakit sawan. Biar saja, lah. Sedang bahagia tak boleh marah.

"Dek, Abang khawatir sama kamu. Kalau gila, bilang-bilang, dong. Biar abang sama Emak bikin persiapan buat mindahin semua isi kamar kamu ke RSJ lebih dulu," cerocos pria setengah matang yang malam ini terlihat tampan.

Aku cemberut. Enak saja mengatai adik paling cantik gila. "Aku bukan gila."

"Terus kenapa?"

"Baru sekarang nanya kenapa? Dasar manusia gak punya kehidupan!" umpatku sebal.

Emak menatap penuh peringatan. Kalimat barusan sudah termasuk umpatan, dan Emak tak mau membenarkan ada ucapan kasar keluar dari mulut anak-anaknya.

Namun, bukannya minta maaf aku malah menatap Bang Khalil tajam. Sebagai tanda bahwa perang akan segera berkibar di antara kami berdua. Enak saja dia. Bukannya tanya di awal, malah menghina duluan.

Memang, ya, kalau punya Abang macam dia darah akan cepat naik. Lama-lama kena stroke. Terus dia juga yang repot.

Bang Khalil mengembuskan napas panjang saat melihat aku yang masih saja berapi-api.

"Ya udah, Abang minta maaf. Gini aja. Sekarang kamu cerita dulu ada apa, biar gak Abang anggap gila beneran," ujarnya pelan tanpa menghilangkan cibirannya.

"Emaaaakk!" Aku tatap Emak yang masih saja tenang.

"Bang, coba perbaiki ngomongnya. Hormati yang tua, sayangi yang muda. Bisa?" tegur Emak yang langsung putri bungsu cantiknya sambut dengan senyum puas.

"Dirgantara mau belajar salat kata oma."

Bang Khalil tersedak, sendok Emak jatuh. Reaksi tak terduga itu sebenarnya sudah aku prediksi. Sebagai pihak keempat yang cukup mengenali Dirgantara tentu saja mereka tahu pada langkahnya yang sudah sangat jauh.

Maka sebelum memaparkan kejadian tadi di taman, aku minum terlebih dahulu. Dari awal sampai akhir mereka menyimak penuh perhatian. Lebih tepatnya penasaran.

Maklum, mendengar perubahan spontan. Aku saja sampai jantungan. Ternyata Dirgantara mau mendengarkan aku untuk belajar menghapus sugestinya selama ini.

"Ngubah seseorang itu gak mudah, tapi kamu bisa," kata Bang Khalil.

Suaranya terdengar datar. Seperti tidak suka.

"Aku gak ngubah Didi, Bang. Didi sendiri yang mau berubah," balasku pelan.

"Kalau ingat pas omanya ngomel, nuduh kita yang gak-gak, malas banget lihat putrinya Emak terlibat dalam urusan hidup orang kaya. Kita, mah, orang miskin. Gak apa gak makan ayam dan daging. Asal hidup gak diinjak sama orang lain," ucap Emak sembari bertopang dagu.

Aku was-was sendiri jadinya. Apa Emak akan melarang aku temui Dirgantara setelah dia 'sembuh' nanti?

"Selama ini, aku berusaha buat kuat demi Didi, Mak. Aku juga sakit hati sama kata-kata Oma. Maunya jauh-jauh aja dari keluarga mereka, tapi masalahnya lain, Mak. Kalau aku ninggalin Didi, nanti dia sama siapa?" kataku panjang lebar.

Dirgantara [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang