Kulirik sekilas, ternyata sedang duduk tenang menatap buku di atas pangkuan, tapo sejak pertama meroda dari pelataran hotel, halaman buku tak kunjung berganti. Pasti sedang menyibukkan diri di alam lamunan. Wah, tak bisa kubiarkan terus berlanjut ini. Harus diajak bicara sekarang juga.
"Di, baca apa?"
Ia terperanjat lalu menatapku seolah bertanya kenapa.
"Kamu baca apa?" ulangku sabar.
"Oh, ini." Dirgantara menunjukkan sampul buku bergambar planet-planet di luar angkasa. "Penasaran sama buku ini."
"Udah sampai mana bacanya? Coba sini, aku lihat dulu bentar. Pengen baca juga, sampulnya bagus." Aku menadahkan tangan tepat di depan wajahnya.
"Don't judge book by cover. Gak semua sampul bagus, isinya bagus. Kadang walaupun kelihatan jelek, kamu bisa aja nemuin banyak hal gak terduga di dalamnya," tegur Dirgantara lumayan panjang.
Rasanya ingin tertawa geli, sembari mencubit pipinya. Dia menggemaskan sekali saat bicara panjang seperti tadi.
"I'm not. Cuma mau lihat aja apa yang kamu baca. Boleh, kan? Boleh, dong. Masa gak, sih?" godaku terang-terangan.
"Nih, baca. Abis itu ceritain ke aku."
"Terus tadi kamu ngapain aja kalau gak baca sendiri?" Aku menggumam sendiri.
Baru beberapa halaman awal sempat terbaca, suara ponsel yang jarang terjamah beberapa hari ini mengalihkan perhatian. Dirgantara ikut penasaran, sebelum akhirnya mendengkus karena yang menelepon adalah Opa. Aku melirik anak itu sebentar, minta persetujuan angkat atau tidak.
"Angkat aja. Opa mungkin mau nanya," suruhnya.
Beberapa menit kuhabiskan untuk mendengar dan menjawab laki-laki tua yang selalu khawatir pada keselamatan kami berdua. Ia banyak sekali bertanya tentang suasana hotel, pelayanan, kenyamanan, cita rasa makanan, cara menyupir Pak Alex, salat, terakhir menanyakan reaksi Dirgantara selama pergi liburan.
Kuberi jawaban memuaskan guna menenangkan hatinya. Tentang Dirgantara yang sempat demam, biarkan saja jadi rahasia.
Hal biasa semacam itu tak perlu diadukan. Toh, aku serba bisa. Jadi babysitter, dokter, chef, psikolog. Bisa disuruh-suruh. Kalau tak bisa tetap kuusahakan selama itu demi Dirgantara. Selesai memberi laporan yang bisa dibilang sangat terlambat, lagi-lagi aku meliriknya yang hampir tertidur sambil duduk.
Huh, enak saja mau tidur, nanti aku diam bagai sapi ompong sepanjang perjalanan.
"Kita mau ke Karang Bolong, sedangkan itu dekat laut. Kamu ... baik-baik aja, kan, nanti?" tanyaku hati-hati.
Tak ada jawaban. Sampai di sana, Dirgantara menatap ke laut lepas dengan mata berkaca. Pelangi melengkung indah di sana. Aku terpaku tanpa bisa mengeluarkan suara. Baru kali ini melihatnya menunjukkan ekspresi berbeda.
Benar-benar di luar ekspektasi!
"Selamanya aku benci lautan, Mi. Selamanya. Karena laut udah ngambil Fauzi saat aku nungguin dia pulang. Tapi, hari ini ulang tahun Fauzi, aku mau ke sini buat ngucapin walau pun sampai sekarang jasadnya nggak ditemukan," tukas Dirgantara datar.
"Gak gitu konsepnya!" sanggahku cepat. "Fauzi lahir sebagai anak nelayan. Dia hidup sebagai putra pesisir yang kuat dan tangguh. He loves sea. Dan dia meninggal jauh dari daratan sebagai bukti kecintaannya pada lautan."
"Tuhan belum menunjukkan keadilan-Nya, Mi. Kenapa aku harus percaya sama takdir?"
"Bukan belum, tapi kamu yang belum sadar." Aku mulai stress. "Beli bunga, yuk? Buat hadiah ulang tahun Fauzi. Nanti kita lepas ke laut, biar ombak yang bawa bunganya ke surga. Pasti Fauzi bahagia."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dirgantara [Tamat]
Teen FictionCatatan dari Mikhaela untuk Dirgantara Sengaja kutulis ini agar orang-orang tahu bagaimana sulitnya menjadi kita, terutama kamu. Cerita ini juga akan menjadi penebus rinduku yang menggebu-gebu. Apalagi sejak hari itu, kita tidak pernah bertemu lagi...