Seminggu sibuk di rumah duka, akhirnya aku bisa bernapas lega. Selama tujuh hari terus bekerja tiada henti sampai tengah malam. Pulang-pulang mengerjakan tugas sekolah, tidur sebentar, tiba-tiba sudah Subuh saja. Dirgantara tak banyak tingkah setelah tahu aku bantu-bantu di rumah Karmila.
Sebagai tetangga, kami tak bisa berdiam diri saja. Entah memasak sepanjang hari untuk memberi makan tamu yang datang silih berganti, menyapu luar-dalam sampai berseri.
Memandikan Ahmad saat Karmila atau beberapa saudaranya tak bisa melakukan karena ada tamu, menggulung-lipat tikar yang sudah kotor.
Intinya aku dan Emak serta para tetangga aktif, tak berdiam diri. Memang begini kalau ada orang meninggal. Sesekali aku masih memikirkan Dirgantara. Dia tampak berusaha sekali memperlihatkan dirinya sedang baik-baik saja, walau aku tahu itu hanya topeng.
Namun, sesampai di sekolah badan selalu remuk redam. Jadi, belum sempat mengajak bicara dari mata ke mata. Ah, aku belum lanjut bercerita tentang dirinya.
Nanti saja, ya? Kapan-kapan pasti akan aku sambung lagi. Tidak sekarang, karena aku masih lelah.
"Dek, udah bangun belum, sih? Itu di luar ada teman kamu nungguin dari satu jam yang lalu!" panggil Emak dari luar.
Aku melirik jam dinding. Sebenarnya sudah bangun dari tadi. Seru saja rebahan lebih lama lagi. Ternyata sudah pukul delapan.
"Mikhaela!"
Dengan kondisi setengah menyeret langkah, aku buka pintu.
"Nah, bangun rupanya. Itu ditungguin dari tadi," ucap Emak.
"Siapa, Mak? Lagian temen yang mana? Anak siapa? Tahu aku dari mana?"
"Bujubuset, anak gue ngawur bener, ya?" Emak bicara sendiri. "Si Dirgantara, lah. Siapa lagi?" komentar Emak tanpa peduli si pemilik nama bisa mendengar.
Tumben anak itu mendatangi rumah, biasanya hanya mau bertemu saat sekolah saja. Kalau pun sedang mengalami down mental, paling juga telepon.
Saat hendak menemui, Emak malah melotot karena aku belum mandi.
"Gak sopan nemuin tamu dalam kondisi berantakan begini. Emak gak ngajarin, ya?"
"Iya, Ma. Aku mandi, tapi emak tolong bilangin dulu ke Didi boleh? Kasihan biar gak ketiduran pas nungguin."
"Iyain aja, deh. Eh, Mi, Mi!"
"Iya, Mak?" Aku kembali balik badan.
"Kenapa makin ke sini itu anak makin cakep, ya?"
***
Sepertinya, Emak tak memberi tahu Dirgantara kalau aku sedang mandi. Terbukti saat aku menghampiri ke ruang tamu dia malah ketiduran. Kasihan. Pasti terlalu lama menunggu sampai lelah. Seperti kamu saat menunggu dia peka, eh, malah belok ke cewek lain.
Rasain. Emang enak dighosting!
Di pangkuannya ada kantong putih berlabel supermarket besar. Selalu begitu. Suka sekali bawa-bawa makanan. Alasannya tak enak bertandang ke rumah orang tanpa buah tangan. Bukan maksudku melarang, hanya saja kalau beli-beli selalu berlebihan. Ah, sudahlah, daripada aku ganggu lebih baik makan dulu.
Perutku lapar akibat bangun terlalu siang. Pusing juga. Baru beberapa langkah berjalan suara parau khas bangun tidur mengudara. Bayi sudah bangun kayaknya. Saat kulihat, Dirgantara sudah duduk seraya mengucek-ucek mata.
Posturnya tegap sempurna kayak tentara, keren.
"Mi, kamu tidur apa pingsan? Lama amat."
"Maaf, semalam aku ngerjain tugas matematika sampai jam tiga. Daripada gak dapat nilai. Terus nulis cerpen bentar gak tahunya keterusan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dirgantara [Tamat]
Fiksi RemajaCatatan dari Mikhaela untuk Dirgantara Sengaja kutulis ini agar orang-orang tahu bagaimana sulitnya menjadi kita, terutama kamu. Cerita ini juga akan menjadi penebus rinduku yang menggebu-gebu. Apalagi sejak hari itu, kita tidak pernah bertemu lagi...