DG.3

20 5 2
                                    

Sumur jadi tempat pertempuran usai makan siang. Siswa-siswi dibubarkan lebih awal karena di dekat sekolah terjadi tauran yang melibatkan tiga kubu anak STM.

Bukan berniat menjelek-jelekkan atau apa, hanya saja sekolah di daerah Tangerang lekat sekali dengan yang namanya pertempuran. Kena bacok bukannya kapok malah ketagihan.

Dengar-dengar banyak di antara mereka yang belajar ilmu kebal. Ribut sudah jadi 'jaket' di dunianya. Istilah-istilah dalam tauran pun sudah kuhafal di luar kepala. Sambil menyikat baju aku memikirkan apa yang ada dalam kepala mereka.

Sebuah kehormatan dirasakan bila mampu membawa basis atau kelompok, jadi pemenang tiap turun ke jalur.

"Mi, belum selesai nyucinya?"

Kesibukan tangan dan pikiran sontak terhenti saat Emak menghampiri. Di tangannya ada baskom berisi sayur. Sumur kami ada di samping rumah. Tepat di bawah pohon mangga yang besar dan rindang.

Makanya air sangat bersih sebab akar-akar pohon mangga menyaring partikel tanah dengan baik.

"Dari tadi gak selesai-selesai. Kamu gak capek?" tanya Emak sambil duduk di akar yang mencuat di atas tanah.

"Tinggal baju abang, Mak. Aku gak capek, kok. Tadi pulang lebih awal jadi tenaganya masih aman."

"Emak tadi lupa tanya, tumben kamu pulang lebih awal. Baru jam sebelas padahal. Biasanya, kan, kalau gak jam tiga pasti setengah empat."

"Ada tauran, Mak. Guru-guru ngeri takut merambah ke sekolah makanya dipulangin semua. Nanti malah bahayain semua orang. Itu aja harus muter, Mak. Gak bisa ambil jalan biasanya. Entah tiga sekolah tumplek blek di sana," curhatku sambil berhenti menyikat.

Butuh peregangan badan sebentar agar tulang-tulang kembali merenggang.

"Udah langganan tauran, mah. Dulu parah lagi. Di pelabuhan itu tiap hari ada aja yang kena potong. Ribut terus, anak-anak sekarang tauran fokus ke musuh aja. Kalau di pelabuhan beda, misal kita gak sengaja masuk ke dalam arena keributan, ya, kena," tukas Emak sambil memotong sayur.

"Media nyatet?"

"Ya, kurang ngerti. Emak orang sana jadi setiap ada keributan, pasti tahu. Cuma sekarang agak takut bahasnya, takut dikira ngada-ngada."

"Kabarnya, dulu cuma orang Priok yang bisa bunuh orang Priok. Benar gitu, Mak?"

"Masalah itu emak gak terlalu paham."

Bukan tidak paham, melainkan Emak menghindar dari kewajiban menjawab pertanyaan. Ya, walau bagaimana pun tak semua harus dijelaskan. Emak pun berasal dari sana. Pastilah agak kurang enak membahas masalah daerahnya. Aku cukup paham.

Emak berasal dari Jakarta. Tinggal di dekat pelabuhan Tanjung Priok yang mana dulu sempat terjadi kejadian memanas di sana. Aku tidak ingin menyebutkan apa dan kenapa.

Biarlah cerita itu jadi sejarah di mata orang sana. Aku takut malah mengungkit luka-luka di hati para keluarga yang kehilangan sebab ditinggalkan.

"Kasihan, ya, Mak? Sebenarnya, kalau dengar berita kekerasan gitu aku suka mual bayanginnya. Ngeri juga. Tapi, penasaran sebab setiap kejadian itu, kan, sejarah yang akan jadi pelajaran untuk generasi selanjutnya," ucapku sambil kembali menyikat celana jeans Abang.

Demi apa pun bagian paling menyebalkan itu saat mencuci celana jeans pria. Capek luar biasa. Untung ditemani Emak. Jadi bisa sambil cerita-cerita.

"Kadang aku suka heran, mereka yang kena BR gak sakit apa? Aneh-aneh, loh, Mak. Golok, gosir, celurit, pedang, samurai, kujang, keris.  Ada lagi yang diiket tali terus diputer-puter," keluhku.

Dirgantara [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang