DG.11

9 3 1
                                    

Selagi Dirgantara masih tidur, aku akan melanjutkan cerita yang tertunda tentang masa lalunya yang teramat sangat menyakitkan. Sebenarnya, tadi dia sempat terbangun dan minta sate ayam, untung saja masih jam tujuh malam.

Jadi, aku berani turun sendiri mencari di mana ada penjual sate. Kalian tahu? Sepanjang jalan aku menggigil kedinginan, sekaligus takut ada adegan seperti di film-film horor.

Syukur, penjualnya asli, bukan jadi-jadian. Bukan Mbak Kunkun atau pun Mas Gnocop. Satenya juga dari daging ayam beneran. Bukan dari daging manusia. Menyaksikan Dirgantara melahap semuanya dalam sekali duduk, aku lega dan mendadak kenyang.

Dikarenakan suhu tubuhnya kembali normal, Pak Alex akhirnya pamit cari warung kopi terdekat. Katanya, tanpa kopi malam tak seindah pelangi. Hilih, ada-ada saja. Entah kenapa, aku dikelilingi orang-orang aneh, tapi baiknya asli bukan buatan.

Hanya tinggal kami bertiga di kamar. Syukur tidak didatangi staf hotel. Lagi pula meski tahu mana berani memarahi kami, Opa bisa ratakan gedungnya dengan tanah. The power of money.

Cukup lama saling diam, tak tahu mau bahas apa. Aku sudah lelah mengomel. Dia juga sudah kehabisan kalimat pembelaan. Alhasil, sebelum pindah ke kamar sendiri, Dirgantara sempat menatap agak lama. Tangannya berkeringat dingin, terkadang gemetar sendiri.

Aku curiga dia mimpi buruk seperti yang sudah-sudah. Lima belas menit lamanya kami berdiri dalam posisi sama. Tepat saat kakiku mulai pegal, Dirgantara membuang muka.

"Terima kasih udah beliin sate, terima kasih udah jagain," ucapnya tulus.

Ah, Emak!

Demi kerang ajaib yang memuntahkan emas bukan mutiara, aku tak bisa diperlakukan seperti ini. Sontak saja mata berkaca-kaca dan menepuk puncak kepalanya beberapa kali. Receh sekali, tapi mengenai hati.

"Anak baik, sekarang tidur lagi. Biar besok bisa jalan-jalan lagi kayak tadi!"

"Mikhaela!" panggilnya, sendu. "Jangan anggap aku gila, aku gak gila. Aku hanya butuh waktu buat nyembuhin semuanya."

"Didi, gak ada yang anggap kamu gila. Dan aku, aku gak akan biarin orang-orang punya persepsi kayak gitu. Di mata aku, kamu adalah Dirgantara yang baik dan sangat baik. Sekarang istirahat, ya? Kamu ingat, kan, apa yang harus kamu lakukan sebelum tidur?"

Dirgantara mengangguk ragu.

"Katakan pada diri sendiri, kamu orang kuat. Kamu orang hebat. Kamu bisa bertahan sampai detik ini, padahal selalu dihantui bayang-bayang kelam! Jangan lupa doa."

Begitulah drama kami tadi. Aku tak yakin apa metode seperti itu berhasil membuatnya tidur lelap tanpa didatangi mimpi buruk. Ingin sekali menerobos ke sana sebentar, guna memastikan Dirgantara baik-baik saja. Terkadang sisi paranoid muncul secara tiba-tiba, membuat pikiran ini menghadirkan praduga yang tak seharusnya ada.

Ah, baiklah. Aku akan menyambung cerita masa lalu Dirgantara. Seperti yang sudah-sudah, tolong bersikaplah seperti biasa. Meski sangat ingin menyampaikan rasa simpati aku tidak peduli. Telan saja kata-katanya. Dirgantara hanya butuh dianggap waras. Itu saja.

Sederhana, bukan?

Entah kali ke berapa, aku mengingatkan kalian. Ini adalah rahasia. Aku membaginya pada kalian setelah mendengar langsung dari Dirgantara. Bukan bermaksud emberan, tapi beberapa orang butuh diberi pengertian bahwa mental manusia berbeda.

Bila Tuhan menciptakan sidik jari berbeda pada setiap manusia, maka jangan tanyakan lagi kenapa kamu, dia dan aku tak bisa berpikiran yang sama. Paham?

-SRH-

Satu bulan kemudian, anak-anak Molotov kembali berkumpul bersama. Setelah dikeluarkan dari penjara, orang tua mereka tak mengizinkan pergi ke luar untuk sementara. Sudah cukup dua kali keluar masuk penjara karena salah tangkap terus menerus.

Dirgantara [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang