Badai masih mengamuk di luar sana. Hujan menderas, petir menggelegar, Dirgantara cemas sebab orang tua Fauzi jauh di kebun. Sedangkan, temannya masih berlayar di tengah laut mencari ikan menggunakan perahu yang tak terlalu besar.
Bocah itu tak tenang. Tak mau diam. Duduk sebentar, bangun berkeliling rumah, terkejut karena petir, duduk lagi, keliling lagi, terkejut lagi. Resah bukan main, tahu-tahu sudah ketiduran dan terbangun saat hari sudah terang.
Senja mengelupas di kaki langit, orange menyatu dengan permukaan samudra Hindia, menciptakan mahakarya sempurna.
Dirgantara tak mementingkan panorama alam di depan mata. Ia segera bangkit mencari sapu, guna membersihkan debu serta pasir yang sempat masuk ke rumah.
Lalu, Dirgantara membersihkan diri dan duduk sekejap di depan. Langit mulai gelap. Orang-orang hilir mudik dari bibir pantai ke rumah, balik lagi ke sana dengan air muka panik. Seingat Dirgantara, mereka ada saat dirinya pergi mengantarkan Fauzi naik perahu nelayan.
Hatinya menyuruh bangkit dan ikut berbaur sembari bertanya apa yang membuat atmosfer diliputi hawa tak enak. Orang tua Fauzi pun ada di sana. Saling merangkul dengan wajah pias.
Saat melihat Dirgantara, mereka berusaha biasa saja. Padahal rona khawatir amat kentara terpancar dari bola mata tuanya.
"Ada apa, Bu? Kok, pada ngumpul di sini semua?" tanyanya penasaran.
Sesekali terdengar bisik-bisik para gadis yang mengatakan, "Mungkin aja udah karam di lautan."
"Kami lagi nunggu Fauzi, Nak. Yang lain juga nunggu keluarganya. Tadi orang-orang pergi mencari keberadaan perahu yang ditumpangi mereka sebelum badai datang, tapi sudah satu jam belum balik-balik juga," tutur bapaknya Fauzi.
Seketika Dirgantara merasa ada gumpalan besar menghantam dada. Kalau di daratan saja badai begitu dahsyat, apa lagi di laut sana. Bisa saja gelombang menjulang setinggi pohon kelapa silih berganti hendak menunjukkan eksistansi pada langit, bahwa hari ini adalah masa laut murka setelah tenang beberapa saat--membiarkan manusia menangkapi ikan-ikannya.
Ya, hanya karena pernah membaca buku tentang tsunami tahun 2004 silam, Dirgantara masih tenang sejak siang. Di buku itu menyebutkan, kalau para nelayan tak tahu apa-apa. Padahal baru saja ada musibah besar meluluhlantakkan seperempat bagian bumi Tuhan.
Tahu-tahu saat kembali mereka kebingungan, tak lagi melihat tambak-tambak ikan, tak menemukan rumah-rumah di pinggir pantai, tak lagi melihat pepohonan, kecuali rata dengan tanah. Lumpur hitam, sampah, mayat, menjadi pemandangan tragis yang memilukan.
"Fauzi bakalan baik-baik aja, kan, Pak? Dia gak kenapa-kenapa," gumam Dirgantara di sela-sela kekhawatirannya.
"Entah, kita hanya bisa berdoa pada Tuhan."
Keesokan harinya semua kembali berkumpul. Menunggu sedikit berita bahagia atau menyiapkan mental sebelum dirundung duka. Dirgantara termasuk orang yang sedang menguatkan diri. Bahwa semua baik-baik saja.
Beberapa saat kemudian, tampak sebuah titik kecil dari kejauhan, perlahan membesar, mengundang teriakan dari orang-orang. Perahu yang digunakan untuk mencari Fauzi dan teman-temannya telah kembali.
Semakin mendekati pantai, semakin jelas pula terlihat awaknya yang gontai. Mereka kembali membawa berita duka.
"Kami gak melihat apa pun di sana. Cuma ada papan-papan yang patah, sama jerigen kosong yang bisa aja milik perahu mereka," kata salah satu laki-laki dewasa.
"Bisa jadi, gelombang di laut lebih tinggi," sambung yang lain pula.
Tersisa bilah-bilah papan dipermainkan riak tenang, lainnya tidak ada. Akhirnya, Fauzi dan teman-teman dinyatakan hilang saat badai datang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dirgantara [Tamat]
Teen FictionCatatan dari Mikhaela untuk Dirgantara Sengaja kutulis ini agar orang-orang tahu bagaimana sulitnya menjadi kita, terutama kamu. Cerita ini juga akan menjadi penebus rinduku yang menggebu-gebu. Apalagi sejak hari itu, kita tidak pernah bertemu lagi...