Detik berganti menit. Menit berganti jam. Jam berganti hari dan hari terus bergulir hingga berganti tahun. Sudah setahun lamanya sejak kepergian Dirgantara yang pergi tanpa pamit padaku.
Duka terus memayungi meski aku berusaha kuat. Bahkan jatuh sakit dan diopname selama seminggu akibat tidak selera makan. Padahal aku sudah sakit, tapi kenapa Dirgantara belum juga kembali?
Selama ini hidupku hanya mengikuti alur. Kaku. Tak berminat seperti dulu. Kehadiran Dirgantara yang membuatku sedikit hidup. Kini, sudah setahun Dirgantara pergi tak kembali. Aku semakin sedih.
Entah dia juga sedang merindu di sana. Atau mungkin sudah lupa padaku, pada Benteng Van Der Wijck, pada Hotel Savoy Homann, pada semua tempat yang pernah kami datangi.
Benih-benih merah jambu yang tak sengaja kami semai kini tumbuh dengan subur dengan siraman kebersamaan kini sepertinya tak lagi berarti.
Aku merindukan Dirgantara. Aku kecewa karena dia meninggalkan diriku bersama semua kenangan yang sangat berharga bersama cinta.
"Hai!"
Aku cepat-cepat mendongak. Kaget. Ternyata dari tadi aku melamun di beranda rumah memandangi tanaman yang hampir layu.
Biasanya, dulu Dirgantara yang akan menyiram. Bila sedang mampir ke mari, pria itu akan melakukan apa pun tanpa perlu disuruh.
Tampak Gabriel tersenyum kecut karena sapaannya tak kubalas. Dia tahu dan harus terbiasa. Aku akan terus begitu selamanya kalau benar-benar kehilangan Dirgantara.
Setelah melepas sepatu dan meletakkannya di luar, Gabriel masuk, duduk di kursi teras. Sebagai tuan rumah yang baik, aku masuk dan keluar lagi membawa secangkir teh melati.
Usai mempersilahkan Gabriel minum, aku kembali diam, tak berminat bicara lagi. Hanya hening yang merajai ruang antara kami berdua.
Bosan terus menerus diam, akhirnya aku mulai bersuara.
"Ada apa? Tumben ke sini?"
Abang dan Emak sedang pergi belanja. Hanya ada aku di rumah. Jadi bebas mau melakukan apa sekali pun itu menendang Gabriel hingga terpental ke udara.
"Kesempatan itu belum ada, ya?" lirihnya.
"Kesempatan?"
"Ya, kesempatan mengusir Dirgantara dari hidup kamu."
"Gak akan pernah ada, aku yang memproteksi hati untuk tetap bertahan pada keyakinanku sendiri."
"Mikhaela, dia udah pergi!"
Aku terkekeh. Kalau kalian melihat Gabriel sekarang pasti tak sanggup menahan tawa. Dulu mati-matian dia berusaha mengusik kami hingga aku membencinya sampai mati.
Namun, sekarang malah memelas untuk hal yang tak akan pernah bisa aku kabulkan. Oh Tuhan, beginikah rasanya lelah menghadapi manusia?
Gabriel harus menelan pahit meski pun tak mau. Sudah jelas, aku akan menolak tanpa perlu berpikir dua kali. Tak ada alasan untuk itu karena dia bukan Dirgantara.
"Kenapa? Kenapa kamu nolak? Padahal selama kamu bekerja aku selalu bantu kamu. Aku yang baik pada kamu. Masih karena Dirgantara? Apa yang udah dia kasih buat kamu? Uang? Dia udah pergi. Harusnya kamu bisa membuka hati untuk orang lain. Setahun pasti cukup buat melupakan Dirgantara, Mi."
Siamang, aku mulai terpancing. Saat menunjuk wajahnya, aku merasa de javu. Teringat kembali pada kejadian sebulan lalu.
"Mbak Mita juga baik, selalu bantu aku, apa itu artinya aku harus menerima Mbak Mita? Gak, bahkan kebaikan dia aja gak cukup buat aku jadikan teman. Kamu ... kalau gak ikhlas, mending jangan bantu. Seolah-olah aku memanfaatkan kebaikan kamu padahal gak sama sekali. Sampai kapan pun aku gak akan pernah bisa lupa sama Dirgantara. Mau setahun, dua tahun, seratus tahun, gak akan bisa. Satu lagi, sekali pun aku dikasih uang atau harta atau bahkan dunia kalau orang itu kamu aku gak akan peduli. Sebaliknya, meski Dirgantara yang kasih atau hanya manfaatin aku juga gak peduli asal itu dia. Ini soal personal, Gab, bukan material!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Dirgantara [Tamat]
Teen FictionCatatan dari Mikhaela untuk Dirgantara Sengaja kutulis ini agar orang-orang tahu bagaimana sulitnya menjadi kita, terutama kamu. Cerita ini juga akan menjadi penebus rinduku yang menggebu-gebu. Apalagi sejak hari itu, kita tidak pernah bertemu lagi...