The Match

49 7 6
                                    


Seminggu sebelum turnamen, Jisung bolak-balik Cheongju-Seoul demi kuliah dan latihan rutin di klub nya. Walaupun di kampus ia sudah memiliki waktu latihan lebih besar daripada waktu akademiknya, tapi ia merasa harus tetap berlatih dengan ayah Han Yu Jin. Guru terbaik kedua. Nomor satu tetap dipegang Han Yu Jin. Namun akhirnya Jisung mengambil libur kuliah mulai Kamis untuk menghemat energi demi menghadapi turnamen di hari Minggu mendatang. Malam itu ia sudah berjanji akan menjemput Ji Eun dari tempat les nya dan menemani adiknya itu ke carat shop. Ada merchandise baru yang wajib dibeli katanya. Jisung hanya mengiyakan. Namun karena Ji Eun tidak sabar atau Jisung yang sempat mampir sebentar hingga membuat waktu janjian mereka molor, akhirnya Ji Eun berjalan duluan ke carat shop dan menyuruh oppanya untuk bertemu disana.

Tidak ada firasat buruk apapun malam itu. Jisung berjalan riang seperti biasanya hingga tiba-tiba Ji Eun menelfonnya. Suara adiknya yang gemetar ketakutan ditambah beberapa suara cowok yang saling sahut menyahut tak jelas membuat Jisung langsung memacu kakinya untuk berlari saat itu juga. Ji Eun dalam bahaya dan ia harus sesegera mungkin menyelamatkannya.

Berpegang pada fitur lokasi yang menghubungkan handphonenya dan handphone Ji Eun, Jisung akhirnya tiba di tempat Ji Eun berada. Sebuah gang gelap di antara 2 bangunan yang menjulang tinggi. Tidak ada yang mengira di gang sempit tempat jajaran bak sampah itu bersemayam cecunguk-cecunguk brengsek yang bisanya hanya menggoda orang lewat dan mengancam mereka untuk menyerahkan uang mereka. Sialnya, Ji Eun yang menjadi korban malam itu.

"YA!" begitu melihat Ji Eun yang sudah berada di cengkeraman salah seorang cecunguk itu, Jisung langsung merangsek maju. Ditendangnya tangan kurang ajar yang berani mencengkeram Ji Eun sekuat itu. Ji Eun tertolak hingga jatuh terduduk. Adiknya itu memekik lantaran lututnya yang tak tertutup apapun menggores aspal. Ngilunya bahkan bisa dirasakan Jisung. Membuat Jisung langsung melanjutkan serangannya. Rombongan lawannya berjumlah 5 orang. 1 lawan 5. Untuk ukuran seorang mantan atlet taekwondo yang sebentar lagi kembali menjadi atlet nasional, 1 lawan 5 bukan perkara sulit. Tentu saja jika lawannya tidak tiba-tiba mengeluarkan senjata dari balik tubuh mereka seperti saat ini. Jisung harus berpikir dua kali untuk terlebih dahulu menyingkirkan senjata mereka sebelum menghabisi fisik rapuh mereka itu.

"Tangan kosong kalau berani" dan itulah satu-satunya senjata yang Jisung punya untuk mengimbangi pemukul kasti, kayu, pemukul baseball dan dua tongkat toya yang ada di genggaman mereka. Merasa harga dirinya dinodai, lawan Jisung dengan sukarela membuang senjata mereka. Menghadapi Jisung tanpa bantuan apapun selain skill berkelahi jalanan yang sepertinya sudah mereka latih sejak masih belia. Selanjutnya, scene di hadapan Ji Eun sudah layaknya seperti film laga. Dan sialnya ia cuman kebagian jatah sebagai korban dengan dialog hanya berteriak ketakutan bersimbah air mata.

Tendangan, pukulan, dan tangkisan tak henti-hentinya Jisung keluarkan bergiliran. Walaupun yakin 100% menang, energi Jisung tetap terkuras habis. Di sisa-sisa energi yang ia punya setelah berhasil menumbangkan 5 lawan sekaligus, Jisung akhirnya berkesempatan memeriksa kondisi Ji Eun. Gesekan aspal membuat lutut Ji Eun menyisakan luka yang menganga lebar dengan darah yang masih menetes. Telapak tangan adiknya itu juga lecet-lecet terkena kerikil karena ia gunakan sebagai tumpuan saat jatuh tadi.

"Ji Eun~a, gwenchana?"

"Oppa gwenchana?" kakak beradik itu saling memindai kondisi masing-masing. Di hadapan adiknya, Jisung sekuat tenaga menutupi nyeri di sekujur tubuhnya. Ia tidak mau Ji Eun lebih mengkhawatirkan oppanya itu daripada mengkhawatirkan dirinya sendiri. Setelah merasa Ji Eun cukup kuat, Jisung akhirnya membantu adiknya itu untuk berdiri. Dari balik tubuhnya, lawannya tiba-tiba siuman dari jeda antara hidup dan mati mereka. Secepat kilat, cowok yang tadi mencengkeram Ji Eun itu mengayunkan toya ke kepala Jisung. Bahkan teriakan Ji Eun masih lebih lambat daripada kecepatan toya itu untuk mematahkan dirinya menjadi dua karena kerasnya tumbukan dengan kepala Jisung.

EphemeralTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang