"Karena Tuhan mengizinkan,"

28 7 4
                                    


Jisung menghentikan kakinya di depan toko kecil sesuai instruksi Yujin. Dari depan toko ini, Jisung bisa melihat sebuah gerbang beraksen khas era Raja Sejeong berdiri dengan megahnya. Di belakang gerbang itu tersaji rumput hijau nan luas yang didampingi pohon-pohon besar yang menjulang tinggi. Sebelum Jisung tau itu tempat apa, cowok itu mengira perpaduan antara rumput dan pohon adalah suatu hal yang menyenangkan. Tapi ketika Yujin sudah mulai melangkahkan kaki dan tiba di depan gerbang, Jisung melupakan kombinasi menyenangkan tadi. Yujin mengajaknya ke pemakaman. Sungguh cewek yang sangat antimainstream.

"Kamu nggak niat ngubur aku hidup-hidup kan?"

"Mungkin aku bisa khilaf nendang kamu sampe bawah" jika mereka sedang tidak ada di pemakaman, Jisung tidak akan memikirkan omongan Yujin. Tapi karena tempat dan suasana yang mendukung, celotehan Yujin menjadi hal yang Jisung pertimbangkan untuk dipikirkan.

Yujin berjalan seolah-olah cewek itu sudah hafal betul wilayah ini. Padahal Jisung dari tadi masih kagum melihat pemakaman seluas dan sesepi ini. Tidak seperti pemakaman di kota yang selalu saja ada orang baik siang maupun malam. Yujin membawa Jisung menuju jalan setapak yang menanjak. Semakin ke atas, pepohonan rindang mulai berkurang. Membuat cahaya matahari bisa menembus hingga permukaan rumput. Paduan kabut dan sinar matahari ternyata menciptakan pemandangan unik di pemakaman ini jika dilihat dari atas.

Tanpa sadar, Jisung berjalan mundur. Ketika punggung cowok itu terantuk sesuatu, barulah ia sadar jika Yujin sudah berhenti. Dan baru saja cowok itu menabrak punggung Yujin. Cewek itu terlihat tenang. Di depan sebuah gundukan tanah yang besar. Gundukan itu dibatasi marmer berwarna abu-abu. Di ujungnya terdapat nisan yang tidak seperti nisan. Di atas nisan itu berdiri sebuah guci mini berwarna biru saphire. Di nisan itu pula tertulis huruf-huruf yang nampak asing di matanya. Jisung baru bisa mengabaikan nisan itu ketika Yujin sudah bersimpuh. Cewek itu menunduk dalam-dalam. Tangannya meraba nisan itu. Baru saja Jisung melakukan hal yang sama, cewek itu sudah terisak. "Eomma...jeosonghaeyo"

Eh?

Jisung menoleh penuh ke arah Yujin. Rambut cewek itu sudah berhasil menutupi wajah sesenggukannya. Jisung tidak bisa menahan untuk tidak menepuk pundak cewek itu ketika tangis Yujin semakin menjadi-jadi. Yujin terus-terusan mengucapkan dua kata itu di sela-sela tangisnya. Seolah kematian ibunya adalah kesalahan Yujin.

Sudah nyaris 45 menit Yujin menangis. Tapi sepertinya cewek itu masih betah saja. Yah walaupun Jisung akui, pemandangan dari tempatnya jongkok sekarang sungguh luar biasa. Selain hamparan kebun teh, perbukitan di sekeliling kebun teh itu pun nampak terlihat megah. Jadi sepertinya tidak apa jika ia menemani Yujin satu sampai dua jam ke depan.

Semilir angin mengibarkan helaian rambut Yujin. Yang sedikit menampakkan betapa bengkaknya mata cewek itu. Jisung sebenarnya iba, tapi mau bagaimana lagi, kata orang-orang, menangis bisa membuatmu lega. Jadi Jisung membiarkan Yujin menangis sepuasnya. Setelah sapaan angin dingin tadi, kabut pun mendadak ikut-ikutan. Jisung menikmati hawa dingin yang menyentuh wajahnya. Rasanya nikmat. Menurutnya. Tapi sepertinya tidak berlaku untuk Yujin. Cewek itu mendadak saja mencengkeram tangan Jisung. Sangat kuat. "JinJin~a? Gwenchana?"

Yujin tidak menjawab. Nafas cewek itu terdengar patah-patah. Cewek itu sudah berhasil menghentikan tangis, tapi nafasnya masih seperti orang sesenggukan. "JinJin~a? Wae gurae?" Yujin semakin mencengkeram erat tangan Jisung. Ketika handphone Yujin yang tergeletak di nisan berdering, menandakan ada panggilan masuk dan ternyata itu dari Yuta, barulah Jisung sadar. Yujin kambuh.

Buru-buru Jisung melepas jacketnya dan memakaikannya ke bahu Yujin. Cowok itu mengabaikan panggilan Yuta dan memasukkan handphone Yujin ke sakunya. "Masih bisa jalan?" Jisung merutuki dirinya karena mengeluarkan pertanyaan bodoh itu saat melihat wajah Yujin yang sudah seperti mayat. Tanpa menunggu jawaban Yujin (memang seharusnya seperti itu), Jisung menggendong cewek itu di punggungnya untuk keluar dari pemakaman.

EphemeralTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang