-📓-
Suasana kelas pagi itu benar-benar seperti kuburan. Bahkan jika ada yang bergeser dari duduknya sedikit saja, sudah menimbulkan suara yang akan memancing singa bangun dari tidurnya. seluruh siswa di kelas tahu siapa singa yang dimaksud itu. Yup Pak Nadir.
Gading menggoreskan setiap tulisan pada lembar jawabannya. Baru pertama kali ini dia mengerjakan soal ulangan itu dengan sungguh-sungguh. Biasanya dia hanya akan menulis: diket-ditanya, saja.
Setelah berhasil menjawab seluruh soal, Gading melirik ke sisi barat daya. Di sana Boby tampak kesulitan mengerjakan soal. Bagaimana Gading bisa tahu? Tentu saja wajah tengil Boby terlihat suram dan Gading menikmati pemandangan itu.
"Waktu sudah habis, silakan yang belakang maju dan kumpulkan kertas jawaban sampai baris depan," perintah Pak Nadir.
Setelah menerima semua soal dan jawaban, Pak Nadir mengucapkan salam dan melenggang meninggalkan kelas.
"Buseeeet! Otak gue ngebul banget!" keluh Boby saat kembali ke tempat duduknya.
Gading yang baru datang bedecih lalu duduk di sisi Boby. "Makanya belajar!"
"Emang elo belajar?"
"Enggak sih," balas Gading cuek. Cowok itu kembali teringat ketika mengerjakan soal tadi. Kisi-kisi yang diberikan Windy mudah sekali ia pahami. Jika begini terus, sangat mungkin baginya untuk mendapat peringkat tiga paralel.
Mata Boby memicing. "Lo gak bohong kan?"
Gading memutar bola matanya sebal. "Lo tahu sendiri kalo gue gak mungkin belajar.
Boby mendengus lalu memasukkan buku matematikanya dan mengganti dengan buku fisika. "Oh ya, lo udah daftar ke Brain Notes?"
Jeda begitu lama. "Belom sempet. Kenapa?"
Lagi-lagi Boby menatap Gading curiga. "Lo gak bohong kan?"
Sumpah! Lama-lama Boby semakin mirip dengan mama, karena selalu saja mencurigainya. Meski terkadang kecurigaan cowok itu memang benar adanya.
"Kepo banget lo sama urusan gue."
"Ck! Lo harusnya bersyukur punya temen kayak gue. Perhatian, setia, dan manis."
"Ew najis!" decih Gading. "Abah lo aja nyesel punya anak kayak lo!"
"Bangs---astaghfirullah." Boby memukul mulutnya yang tak terkontrol. "Gini banget mau jadi anak sholeh! Jadi gak bisa maki-maki lo!" gerutunya lalu mendengus jengkel.
Gading terkekeh. "Gue jadi pengen ketemu abah lo. Lama nih gak ketemu. Mau sungkem karena bikin lo kesiksa kayak gini."
"Sungguh sahabat sejati. Thanks bro!"
Gading tak mampu menahan tawanya. "Sama-sama."
Tawa Gading akhirnya mereda saat Bu Dina masuk ke kelas untuk memulai pelajaran Fisika.
📓
"Jadi, anak-anak sepakat ngadain rapat buat nentuin tema majalah tahun ini. Gue rasa lo sama Wildan bisa nyiapin sedikit makanan ringan buat anak-anak nanti."
Cowok dengan rambut tebal itu menatap cewek di depannya yang sibuk menulis jadwal di buku catatan.
Windy berhenti menulis lalu mendongak. Cewek itu menatap cowok itu sebal. "Lo dengerin gue kan?"
Rian tertawa. "Gue kan punya telinga. Masa gak denger."
Windy mendengus. Percuma bicara dengan cowok itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Brain Notes
Teen FictionWindy berhasil keluar dari jurang kemiskinan setelah menjadi tentor di sebuah lembaga bimbingan belajar misterius bernama Brain Notes. Hingga suatu hari, cowok yang selalu memenuhi hati Windy sejak pertama ia masuk menjadi siswa SMA Samapta, tiba-ti...