Brain Notes - [11]

880 144 17
                                    

-📓-

Dugaan Windy kali ini memang benar. Gading memang marah padanya. Kenyataan itu terbukti saat ini, saat mata Gading menatapnya tajam.

Jika bisa, Windy ingin kabur saat ini juga. Masalahnya Windy tidak bisa. Ia harus bertanggung jawab. Secara tidak langsung, ia adalah penyebab utama Gading tidak ingin diwawancarai oleh anak jurnalistik, dan Windy di sini ada untuk memperbaiki semuanya.

Windy berdehem. Mendadak tubuhnya terasa lemas, perutnya luar biasa sakit dan ia tidak tahu kenapa. Ternyata efek Gading memang sebesar ini untuknya.

"Ada apa?"

Suara berat dan dingin Gading seakan ikut membuat tubuh Windy semakin melemas. Cewek itu melirik ke sisi kiri dan kanannya. Halaman depan sekolah yang sudah sepi seolah tidak bisa menolongnya.

"G-gue minta maaf. Lo masih m-marah?"

Alis Gading terangkat sebelah. "Siapa yang marah?"

Windy membasahi bibirnya yang kering. Keringat dingin sudah mulai keluar dari keningnya. Ia harus segera menyelesaikan urusan ini secepat mungkin.

"Oh, lo gak marah? Mmm ... g-gue." Ucapan Windy terhenti, cewek itu menunduk. Meski begitu matanya melirik pada Gading yang tampak menawan dengan jersey sepak bola yang basah oleh keringat itu.

Gading mendengus keras. "Ck lama! Kalo gak ada yang penting gue pergi. Gue capek."

"T-tunggu!"

Tangan Gading yang ingin membuka pintu mobil terhenti. Sopir Gading yang duduk di balik kemudi tampak menunggu sang tuan muda untuk masuk.

"Apa lagi? Lo masih penasaran apa gue udah move on dari Monika?"

Windy segera menggeleng. "Bukan. G-gue mau minta maaf sama lo masalah pertanyaan gue itu," kata Windy dengan satu tarikan napas. "Gue gak bermaksud pengen tahu masalah pribadi lo."

Sudut bibir Gading tertarik ke atas. "Gitu? Oke gue maafin. Udah kan? Gue bisa pergi?"

"Anuu, ada satu lagi," sambar Windy sambil menelan ludanya kelu. "A-apa lo mau mertimbangin wawancara sama anak jurnalis---"

"Oh, jadi alasan lo minta maaf biar gue mau nerima tawaran anak jurnalistik?"

Windy berjengit. Ia segera mendongak dan menggeleng cepat. "Bukan---"

"Ck, gue udah males berurusan sama lo."

Kali ini Gading benar-benar telah masuk ke mobilnya membuat tubuh Windy melemas. Cewek itu menggigit bibirnya. Ia justru semakin mengacaukan segalanya.

Windy meringis. Entah kenapa mendadak perutnya semakin terasa mulas.

Windy memegang perutnya. Matanya menyipit saat melihat mobil Gading yang mulai mengabur. Detik berikutnya Windy merasakan telinganya berdengung keras dan ia tahu jika setelah ini tubuhnya akan jatuh menghantam tanah.

📓

Entah sudah berapa lama Windy tertidur. Saat terbangun Windy sudah berada di sebuah kamar luas dengan nuansa abu-abu putih. Jelas ini bukan kamarnya.

Selagi membiasakan cahaya yang masuk ke korneanya, Windy berusaha mengingat saat terakhir ia sadar.

Perlahan ingatannya saat berada di halaman sekolah mulai muncul. Jadi pada akhirnya ia jatuh pingsan?

Suara pintu terbuka mengalihkan fokus Windy. Cewek itu segera terduduk. Matanya menemukan seorang wanita paruh baya memasuki kamar itu.

Brain NotesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang