Chapter 31

255 11 0
                                    

Hari demi hari Raihanah lakukan aktifitas di kebun. Ditemani Ujang yang akan merintis pabrik selai apel. Saat ini akan mewujudkan impian semua orang yang akan membuat para warga antusias berbahagia.

Ini sebuah langkah awal menyiapkan persiapan tenaga, waktu, dan finansial yang akan digarap kedepannya. Raihanah juga memulai mencari resep dengan menanyakan kepada temanteman yang mempunyai hobi membuat kue.

Namun terkadang juga berselancar pada internet yang memudahkan mencari hal apa saja didalamnya. Antusias para warga yang membantu sangat terarahkan menjadi hal baik untuk mereka. Ketika impian itu telah tercapai keuntungan buat mereka akan meningkat.

Handphone Raihanah berdering, saat akan diangkat terlihat Ayah yang tertera nama tersebut. Ketika mendengar suaranya, Pak Hans sedang menangis.

"Apa disana baik-baik saja?"

"Ngga Nak. Disini tidak baik-baik saja. Ibumu sekarang sakit keras. Sekarang Ayah berada di rumah sakit, tapi Ayah memerlukan biaya yang banyak untuk pengobatan Ibu."

"Ayah bukannya punya banyak uang."

"Saat ini perusahaan Ayah telah bangkrut. Malam tadi fasilitas Ayah diambil oleh pihak bank. Lalu Ibumu jatuh pingsan setelah mendengarnya."

"Setelah pekerjaan ini selesai, Rai akan pergi ke rumah sakit."

Setelah urusan apel kelar, Raihanah yang ditemani Ujang bergegas menuju rumah sakit yang berada di kota.

Sesampainya disana, terlihat Pak Hans termenung di sofa melihat Bu Fatma berada diatas brangkar dengan menjalar alat-alat medis.

"Rai prihatin atas kejadian yang menimpa Ayah. Semoga Ayah menerima hidayah yang dibalik dalam musibah ini."

"Makasih Nak. Maaf juga karena Ayah suka kasar sama kamu."

"Udahlah Ayah, yang sudah berlalu biarkan berlalu. Rai berharap memulai perbaikan lagi dari awal. Karena Rai ingin mempunyai keluarga yang utuh kembali. Maka dari itu Rai merasa senang kalo Ayah sama Ibu tinggal di rumah bersama-sama." Pak Hans memeluk putrinya dengan perasaan haru. Sebab putrinya sekarang sudah berfikir secara dewasa dan menjadi anak yang mandiri.

Pak Hans lebih banyak belajar dari perkataan bijak Raihanah. "Saya juga prihatin musibah yang menimpa keluarga, Pak. Semoga Bu Fatma lekas sembuh sediakala."

"Terimakasih Ujang atas doanya. Dan selama ini telah menjaga Raihanah."

Ujang mengangguk dengan memancarkan senyuman manisnya. Raihanah memperhatikan Ibunya yang sedang tidak sadarkan diri. Doa untuknya tak pernah terputus sebagai anak sholeh. Raihanah menghampirinya memegang tangan Ibunya dengan secara lembut.'Tangan Ibu ini sudah merawat Rai dari kecil dengan penuh kasih sayang.

Namun, Ibu tidak pernah membelai halus ketika Rai sudah besar' dalam hatinya sambil menitihkan air mata.

"Nak, bisa bantu Ayah untuk menyelesaikan tagihan administrasi ini" ujar Ayah sambil menyodorkan tagihan yang biayanya cukup besar.

"Kalo uang segini Rai ngga ada. Tapi Rai janji akan melunasinya demi kesembuhan Ibu."

"Untuk sementara pakai uang rencana pembuatan pabrik saja, Neng" saran Ujang.

"Ngga bisa Kang. Itu semua uang hasil sumbangan warga."

"Biar Akang yang tanggung jawab soal itu. Segera bayarkan. Supaya Ibu Neng bisa ditangani pemeriksaan selanjutnya."

Pak Hans takjub dengan kerendah hatian Ujang. Dirasa sangat sempurna bila bersanding dengan putrinya.

"Ayah sangat bahagia bila kamu menikah dengan Ujang."

"Kok, Ayah malah berkata ke arah itu sih" balas Raihanah sambil tersipu malu.

"Ayah serius ini, jangan terlalu lama menjalin hubungan. Sudah sah kan saja sekalian. Kalian ini pasangan yang sangat serasi."

"Kita tidak ada hubungan apa-apa kok, Pak. Hanya sebagai rekan kerja saja." Timpal Ujang.

Perasaan Raihanah campur aduk, hatinya berdegup kencang. Hans telah menyalakan lampu hijau untuknya. Selangkah lagi akan melewati pernikahan saklar dengan pria idaman yang di dekatnya selama ini.


Bersambung...

Cintaku Nyangkut di Kampung (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang