Chapter 7

472 22 0
                                    

Dari depan pintu terlihat Ayah Hans yang sedang memperhatikannya. Lalu Raihanah menghampiri ayahnya, dengan kerinduannya. Ayah kemudian mengatakan keadaan dirinya sekaligus Kakek Imran disana.

Kemudian, ayah meminta untuk mengobrol tentang hal penting di taman belakang rumah. Lagian sang Ibu telah tertidur lelap kembali.

"Ada hal penting ya, Yah. Sampai harus ngobrol disini segala."

"Raihanah anakku, kamu adalah putri kebanggaan Ayah sama Ibu. Kami sebenarnya khawatir kondisi kamu bila jauh dari rumah ini. Ayah hanya minta satu permintaan dan berharap kamu jadi pengelola perusahaan Ayah. Ayah sudah tua, tak bisa kemana-mana lagi ketika mesti meeting dengan klien," ujar Ayah Hans penuh harap.

"Rai ngga bisa Yah. Maaf Rai ngga bisa menerima tawaran ini," jawab Raihanah bantah.

"Ayah juga tau kan apa yang Rai inginkan dan sukai. Jadi, Rai sekarangkan sudah besar, sudah bisa mengatur sendiri."

"Saat ini Ayah serasa tidak mempunyai anak yang diandalkan. Pada saat acara keluarga yang dihadiri di kantor, teman-teman membawa anak-anaknya. Mereka sangat membanggakan kedua orangtuanya. Mereka tidak pernah membantah kedua orangtuanya," ujar Hans.

"Ini ada anak satu-satunya selalu mengelak perkataan orangtuanya."

"Jangan samakan sama mereka Ayah. Kemungkinan mereka memahami apa yang anaknya inginkan sehingga orangtuanya mengabulkannya. Mereka mendapat kasih sayang yang selalu mereka hangatkan," jawab Raihanah kesal dan meninggalkan Ayahnya.

"Rai dengan mereka berbeda Ayah, setiap anak melakukan potensi yang berbeda - beda dan keinginan yang berbeda."

"Terserah kamu saja. Memang kamu ini tak akan sepaham sama Ayah," ucap Pak Hans. Ia sambil meninggalkannya di taman sambil menunjukkan wajah yang kurang suka terhadap anaknya.

Kemudian Raihanah pergi ke kamarnya. Hari akan larut malam, tak terasa Raihanah telah melakukan tugasnya dengan baik dengan merawat sang Ibu seharian sebagai tanda berbakti kepada mereka. Saat memikirkannya, Raihanah merasa haus dan akan pergi ke dapur untuk mengambil air mineral. Terlihat pintu kamar kedua orangtuanya terbuka sedikit.

Lalu terdengar berbincangannya yang selalu menyebutkan Raihanah serta harta rahasia. Ia medengar pembicaraannya di balik pintu.

"Yah, sudah bilang belum kepadanya untuk tidak kembali kesana?" tanya Fatma.

"Anak itu sangat keras kepala, kita harus melakukan cara yang lain untuk dia tetap disini," ujar Hans.

"Kita harus mencari cara lain."

"Lah percuma dong pengorbanan Ibu untuk pura - pura sakit kayak begini. Pegel Yah harus tidur mulu di kasur. Apa - apa harus terus di kamar," ucap Fatma mengeluh.

"Sabar dulu Bu. Ayah harus mikir lagi!" Ujar Hans.

"Apaan Yah. Apaan?" jawab Fatma merasa penasaran.

Tiba-tiba telepon Hans berdering. Lalu ia mengangkatnya dengan wajah yang begitu senang. Hans mengangguk ketika menelopon. Sepertinya ada hal yang penting.

"Bu, anaknya Pak Samsul yang kuliah dari Amerika itu sudah pulang. Besok mereka akan kemari. Kebetulan juga disini kan ada Raihanah. Bagaimana kita jodohkan saja pada dia," ujar Hans.

"Ide yang bagus itu Yah. Mereka dari golongan kolongmerat, bila berbisnis dengannya akan kita akan tambah kaya," ucap Fatma.

"Hmm, tak masalah Raihanah tidak mengelola perusahaan kita, nanti akan ada anaknya Pak Samsul saja."

"Ibu benar. Seorang perempuan hanya tugasnya melayani suaminya di rumah."

"Hah Ibu ngga sabar. Dia akan menjadi menantu kita."

Raihanah kaget mendengar ucapan yang diucapkan oleh kedua orangtuanya. Tega sekali mereka main menjodohkannya dengan seorang pria yang ia tidak mengenalinya. Demi menukarkan dia dengan memanfaatkan uang.


Bersambung...

Cintaku Nyangkut di Kampung (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang