tanggung jawab

2.5K 256 5
                                    

Mingyu sudah berkali-kali menghubungi nomor ponsel Irene, hingga akhirnya Irene menerima panggilan tersebut dan Mingyu mengajaknya untuk bertemu. Kini Mingyu tengah duduk di sebuah kafe, menatap keluar jendela besar, memandangi gemerlap lampu-lampu yang memenuhi kota tersebut.

Ia menghela napasnya, melihat Irene yang turun dari taksi dan berjalan memasuki kafe tersebut, langsung mendudukkan dirinya di hadapan Mingyu. Ia menatap Mingyu dengan lekat sembari menampilkan senyum cantiknya namun licik. "Kenapa?" Tanyanya.

"Lo beneran hamil?" Tanya Mingyu dengan dahinya yang mengkerut, menunggu jawaban Irene.

"Kalo lo nggak percaya, ayo ke rumah sakit." Ia menatap Mingyu dengan lekat. "Awalnya gue nggak mau bilang masalah ini, tapi gue nggak bisa Varo, gue nggak mau anak gue lahir tanpa ayah." Ucap Irene dengan memelas.

Mingyu terdiam selama beberapa saat, sebelum akhirnya menjawab, "Lo yakin itu anak gue?" Tanyanya

"Yakin, gue nggak ada hubungan lain, lo pria pertama sekaligus terakhir gue." Irene meraih tangan Mingyu, menggenggamnya dengan erat. "Gue sayang sama lo Varo, gue nggak mau aborsi anak ini, dia darah daging lo."

Mingyu menarik tangannya. "Gue butuh bukti kalo itu emang beneran anak gue, sejak kelulusan kita nggak pernah ketemu, gue nggak tahu lo bohong apa enggak."

"Lo nggak percaya sama gue Varo?" Mingyu menatapnya dengan lekat, ia menggeleng karena memang ia tidak percaya dengan Irene. "Ok, kalo emang lo nggak percaya, biar nanti anak ini lahir dan gue aja yang rawat." Irene berdiri dari duduknya tapi Mingyu segera menahan tangannya.

Irene menoleh dan menatap Mingyu yang menunjukkan wajah murung. "Bukannya gue nggak mau tanggung jawab, tapi gue butuh bukti, selain itu, waktu kita lakuin, gue yakin gue pake pengaman. Lo juga bilang gue nyuruh mantan gue buat aborsi, tapi gue nggak pernah gitu, mereka nggak pernah bilang kalo mereka hamil." Ucap Mingyu.

Irene kembali mendudukkan dirinya di kursinya tadi. "Emang lo nggak nyuruh mereka buat aborsi, tapi gue Varo, gue yang hamil karena lo."

"Berarti semua itu hanya fitnah lo kan?" Mingyu menghela napasnya dan tersenyum sinis. "Lo bikin nama gue buruk di kampus, semua orang jadi mikir gue emang nyuruh mantan gue aborsi."

"Itu salah lo karena lo nggak mau balik sama gue."

"Balik?" Mingyu terkekeh pelan, ia memajukan tubuhnya. "Lo yang nggak mau sama gue dan lo yang minta one night stand, habis itu kita lulus dan kita udah sepakat nggak mau saling ketemu, tapi lo tiba-tiba dateng gitu aja."

Irene terdiam, ia menatap Mingyu dengan sendu. "Gue minta maaf, karena waktu itu gue nggak sadar sama perasaan gue. Tapi setelah lo pergi, gue bener-bener sadar kalo gue sayang sama lo Mingyu."

"Basi, gue udah nggak sayang sama lo." Mingyu berdiri dari duduknya. "Gue belum bisa percaya kalo anak itu anak gue sebelum lo ngasih bukti yang akurat, jadi untuk sekarang, jangan ganggu gue dulu." Ia berjalan meninggalkan Irene di kafe tersebut, mengendarai motornya menuju rumahnya.

••••••

Hampir lima belas menit lamanya Mingyu menunggu Wonwoo di depan gerbang rumah tersebut, ia juga belum akan menyerah. Rumah Wonwoo kosong, kedua orang tuanya tidak ada dan Wonwoo sendiri entah di mana, di kampus pun Mingyu tidak bisa menemukan Wonwoo dan ponsel Wonwoo tidak aktif.

Ia masih setia duduk di atas motornya, berkali-kali menghela napasnya dan melihat jam yang ada di pergelangan tangannya. Ia menoleh ke arah rumah Jeonghan, juga dalam keadaan sepi dan ia tahu Jeonghan masih di kampus tadi.

Menit kembali berlalu, setengah jam sudah sampai akhirnya ia melihat mobil orang tua Wonwoo yang berhenti di depan gerbang tersebut, ia juga melihat Wonwoo yang duduk di jok belakang. Ibunya Wonwoo turun dan menghampiri Mingyu. "Kamu udah lama di sini?" Tanyanya dan Mingyu hanya tersenyum, ia membuka gerbang dan mobil masuk. "Ayo masuk Varo." Ajaknya.

mas arka wonwooTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang