Suasana Pagi yang Kelam Pagi itu terasa seperti pagi lainnya, meskipun ada sesuatu yang berbeda di udara. Teriakan ayah dan ibu Tanie membahana di seluruh rumah, suara mereka beradu seperti petir di langit yang kelabu. Tangisan bayi, Anna, seakan menjadi latar belakang yang tak terpisahkan dari drama sehari-hari. Namun, hari ini pertengkaran mereka semakin intens, menyalakan suasana yang sudah tegang.
Tanie terbangun, rasa penat menyelimutinya. Dia menggosok matanya dan beranjak menghampiri kedua orang tuanya yang terlibat dalam adu mulut yang tajam."Bu, Yah, kalian nggak bosen berantem terus? Lihat Anna, dia masih kecil, jangan sampai dia jadi pelampiasan seperti aku!" teriak Tanie, suaranya penuh emosi yang tak tertahan.
Tanie duduk di meja makan dan menuangkan minuman ke dalam gelas, berusaha mengalihkan perhatian orang tuanya. Namun, reaksi ayahnya malah semakin memanas. Dalam sekejap, ayahnya merebut gelas dari tangannya dan memecahkannya, serpihan kaca berhamburan dan menyayat tangan Tanie serta wajah ibunya.
Ibu Tanie berusaha menahan suaminya, tetapi suasana kembali tegang. Pertengkaran itu terhenti sejenak ketika ayahnya pergi meninggalkan mereka berdua.
Ibu Tanie mendekati Tanie, memegang pundaknya, dan berkata dengan nada lembut namun penuh kesedihan."Tanie, ibu tidak mengajarkanmu berbicara seperti itu kepada orang tua."
Tanie hanya bisa tersenyum sinis, tatapannya kosong. Dia mengusap darah di tangannya dan berkata dengan nada penuh kebencian, "Dengan kalian sering seperti ini, Tanie lebih baik nggak punya orang tua." Setelah kalimat itu, Tanie beranjak pergi ke kamar, meninggalkan ibunya yang tertegun.
Ibu Tanie hanya bisa mengelus dada, air matanya jatuh perlahan saat melihat pintu kamar Tanie tertutup.
Tanie berdiam diri, matanya terpaku ke luar jendela, berharap ada sedikit cahaya yang bisa menghidupkan kembali jiwanya yang hancur.
Tak lama setelah itu, suara gelas pecah kembali mengguncang kedamaian pagi. Tanie segera berlari menghampiri sumber suara itu."Ibu...!" teriaknya dengan penuh kepanikan, dan ketika dia masuk ke ruang makan, terperanjatlah dia melihat ibunya tergeletak tak bernyawa, bersimbah darah di samping meja.
Ayahnya terdiam, terlihat kaku, menatap istrinya dengan wajah penuh penyesalan, tangan memegang botol bir yang sudah setengah pecah. "Maafkan ayah, nak. Ayah nggak sengaja," suaranya bergetar penuh rasa bersalah.
Melihat ayahnya, kemarahan Tanie membara. Dia mengambil pisau dari meja, mendekati ayahnya dengan niat untuk melampiaskan semua emosinya. Saat pisau siap ditusukkan, suara tangisan Anna menggema di telinganya, menyadarkannya dari kekelaman.
Dengan cepat, Tanie melemparkan pisau itu ke sisi lain dan berlari mengambil adiknya. "Anna, jangan takut. Kakak akan selalu bersamamu," ucapnya sambil mencium dahi bayi itu, air mata mengalir deras di pipinya.
Tanie pergi dari rumah itu, tanpa membawa apapun selain adiknya dan baju yang melekat di tubuhnya. Dia tak ingin mengetahui apa yang terjadi selanjutnya; hatinya hanya terfokus pada satu hal: menjaga Anna, adiknya, agar tidak merasakan luka yang sama.

KAMU SEDANG MEMBACA
one girl for seven lord
Fantasy"Kepada Yang Mulia Raja, silakan berikan keputusan akhir." Semua mata tertuju pada Raja, yang dengan hati-hati menghapus air matanya sebelum berdiri dari singgasananya. Dengan nada yang tegas namun penuh emosi, dia mengumumkan, "Sebagai seorang Raja...