Sangkar burung

9 5 0
                                    

Di sebuah kamar megah yang luas dengan perpaduan gaya klasik dan modern, Tanie sedang tertidur nyenyak di atas ranjang besar yang terbuat dari kayu berukir halus, dikelilingi tirai sutra yang berwarna lembut. Kamar itu dipenuhi dengan keajaiban, bunga-bunga eksotis yang dapat berbicara lembut dalam bahasa mereka sendiri, memberikan aroma segar setiap kali mereka berbisik. Dinding-dinding kamar dihiasi dengan ukiran-ukiran halus dan lukisan bersejarah yang menggambarkan masa kejayaan kerajaan. Di sudut lain, teknologi modern berpadu dengan harmoni klasik—sebuah meja dengan cermin yang dapat menunjukkan gambar dari masa depan, serta perangkat canggih yang menyala dengan sentuhan tangan.

Cahaya matahari pagi perlahan menyusup masuk melalui tirai tipis yang menutupi jendela besar, menyinari ruangan dengan lembut, membangunkan Tanie dari tidurnya. Dengan mata yang masih mengantuk, ia menggeliat pelan, menggosok matanya sambil duduk di atas ranjang. Tak lama kemudian, terdengar suara pintu megah kamar terbuka, diiringi langkah kaki halus. Kira, dayang khusus Tanie, masuk dengan senyum ramah di wajahnya.

"Selamat pagi, Dewi," sapa Kira lembut sambil menundukkan kepalanya sedikit sebagai tanda hormat.

Tanie membalas senyum Kira dengan lemah, masih mencoba mengumpulkan kesadarannya. "Pagi, Kira."

Prajurit yang mengawal pintu kamar pun dengan gerakan singkat menutup pintu megah itu dengan tepukan tangan, menandakan bahwa ruang pribadi Tanie kembali tenang. Kira, yang sudah terbiasa dengan rutinitas pagi, berjalan dengan anggun menuju meja, segera menyiapkan teh rose hangat yang selalu menjadi favorit Tanie. Aroma bunga mawar yang lembut mulai memenuhi ruangan, menenangkan hati yang masih resah.

Setelah menuang teh ke dalam cangkir porselen halus, Kira membawa cangkir itu ke sisi tempat tidur Tanie. "Ini teh favoritmu, Dewi. Semoga hari ini lebih baik," kata Kira dengan suara penuh kehangatan.

Tanie menerima cangkir itu dengan anggukan kecil, menghirup teh hangat tersebut perlahan. Setelah beberapa saat hening, Tanie akhirnya memulai percakapan, suaranya terdengar lembut tapi penuh kegelisahan. "Kira... aku tidak hamil, bukan?"

Kira menatap Tanie, sedikit ragu sebelum menjawab, namun akhirnya mengangguk dengan penuh pengertian. "Ya, Dewi. Pemeriksaan kemarin sudah menunjukkan hasilnya." Kira berhenti sejenak sebelum melanjutkan, "Dan aku tahu betapa besar harapan Raja atas kehamilanmu."

Tanie menarik nafas penuh kelegaan, " aku kira pangeran suga telah menghamiliku, karna waktu aku bersamanya, aku tidak sadar dan tidak tau apa yang dia lakukan padaku, " 

kira membalas dengan senyumanya, " mungkin memang belum saatnya" 

Tanie menunduk, merasa bingung. "Apakah ini benar-benar akan membawa kesialan bagi kerajaan, Kira? Jika aku tidak bisa memberinya cucu agung?"

Kira tampak sedikit bimbang, tetapi kemudian berbicara dengan nada yang lebih serius. "Aku mendengar sesuatu, Nyonya. Saat aku melewati taman sungai susu kemarin, aku mendengar bisikan dari sang raja yang mengatakan... bahwa salah satu dari pangeran, yang suka membangkang, mungkin adalah yang ditakdirkan untuk memberimu cucu agung."

Mata Tanie melebar, hatinya mulai berdebar kencang. Nama Taehyung langsung terlintas di pikirannya. Taehyung, yang selama ini selalu menolak kedekatan dengan dirinya, pangeran yang sangat mencintai Saru. Pikiran itu membuat Tanie terdiam, rasa bersalah mulai memenuhi benaknya.

"Taehyung..." bisik Tanie pelan, seolah bicara pada dirinya sendiri.

Kira yang menangkap nama itu langsung menatap Tanie dengan penuh rasa simpati. "Nyonya, aku tahu ini mungkin sangat sulit bagimu. Jika itu benar Taehyung... kau akan memiliki anak dengannya, tanpa cinta, hanya karena takdir. Aku bisa memahami betapa beratnya itu bagimu."

one girl for seven lordTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang