manis

27 6 0
                                        

Malam yang gelap menyelimuti desa Gonsa. Setelah pemberontakan yang dipimpin oleh Jongsuk, suasana di kerajaan berubah menjadi penuh ketakutan. Paranoia akan pemberontakan selanjutnya merajalela di seluruh negeri. Kerajaan terus menembakkan bom udara sebagai peringatan, seakan ingin menegaskan dominasi mereka dan mengintimidasi rakyat yang berani melawan.

Di sebuah rumah kayu bergaya klasik-modern, beberapa penjaga berpakaian hitam berjaga di depan pintu. Di dalamnya, seorang pria paruh baya terbaring lemah di atas ranjang terbang, dengan alat bantu napas dari batang daun yang menempel di pipinya. Matanya menatap langit-langit dengan penuh kegelisahan.

"Bukankah saat ini adalah penentuan bagi negeri ini?" ucap pria tua itu dengan suara serak, matanya memandang ke arah Jongsuk yang berdiri di dekatnya.

"Bukankah saat ini adalah penentuan bagi negeri ini?" ucap pria tua itu dengan suara serak, matanya memandang ke arah Jongsuk yang berdiri di dekatnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jongsuk, yang tampak tenang, mengangguk sambil menuangkan air dari kendi emas ke dalam gelas. "Benar, Tuan. Tapi menyerang sekarang, tanpa rencana matang, hanya akan membawa kehancuran. Kita harus lebih cermat."

Pria tua itu mendesah kesal. "Apa kau meragukan rencanaku, Jongsuk? Aku telah merencanakannya sejak aku muda!" Suaranya meninggi, disertai batuk-batuk yang semakin memperlemah tubuhnya.

Jongsuk mendekat dan memberikan gelas itu. "Minumlah dulu," katanya pelan. Setelah pria tua itu meneguk air, Jongsuk melanjutkan, "Aku tahu rencanamu sudah matang. Tapi kerajaan telah menemukan kekuatan baru—dewi. Mereka sekarang memiliki kekuatan yang jauh lebih besar dibandingkan sebelumnya."

Wajah pria tua itu berubah pucat. Dia tersedak, batuk-batuk makin keras. "Dewi? Tidak mungkin... aku kira mereka takkan menemukannya. Bagaimana kau tahu ini, Jongsuk?"

Jongsuk tersenyum tipis, lalu menjelaskan, "beberapa hari yang lalu, aku menemui rakyat. Mereka hidup dalam kemiskinan yang menyakitkan. Aku ingin merekrut beberapa dari mereka menjadi prajurit, tapi saat itulah aku mendengar desas-desus tentang dewi. Raja telah mengikat perjanjian dengannya. Kekuatan mereka sekarang lebih besar dari yang bisa kita bayangkan."

Mendengar penjelasan itu, pria tua itu bangkit dengan susah payah, menahan sakit di dadanya. "Jika itu benar, kita harus mengubah rencana. Kekuatan magis dari dewi bisa menghancurkan kita. Ini lebih buruk dari yang kubayangkan."

Jongsuk mengangguk, wajahnya serius. Mereka berdua terdiam sesaat, tenggelam dalam pikiran masing-masing.

Tiba-tiba, pria tua itu berkata dengan nada penuh kebencian, "Pengkhianat!"

Jongsuk terkejut. "Apa? Siapa yang kau maksud?"

Pria tua itu tersenyum sinis, tatapannya penuh teka-teki. "Kau akan segera tahu, Jongsuk."

Di sisi lain kerajaan, Raja Gonsa menatap keluar jendela kamarnya, memandangi kota Gonsa yang bercahaya di kejauhan. Ia mengingat ramalan lama yang sering diabaikan. "Aku tahu hari ini akan datang," gumamnya pelan. Di balik tampangnya yang tenang, pikirannya berkecamuk.

one girl for seven lordTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang