meja rapat

58 31 3
                                    

Malam itu, langit cerah. Bulan sabit tampak seperti senyum lembut di langit, ditemani bintang-bintang yang berkelap-kelip, seolah ikut menyapa Tanie yang duduk di jendela istana. Angin malam yang sejuk membelai wajahnya, namun rasa sesak di dalam hatinya tak terobati. Dia menghela napas panjang, meninggalkan embun pada kaca jendela di depannya. Dengan jari telunjuknya, ia menggambar lingkaran kecil pada embun itu dan menulis nama adiknya, "Anna."

"Anna sayang, maafkan kakak... Bagaimana kabarmu? Kakak sangat khawatir," bisiknya lirih, matanya mulai berkaca-kaca.

Air mata pun mulai mengalir deras, membasahi pipinya dan piyama yang ia kenakan. Tanie memeluk lututnya erat, merasakan kepedihan yang selama ini ia tahan tumpah begitu saja. Tangisnya menggema di dalam kamar yang sunyi, hanya ditemani suara malam di luar sana.

Setelah beberapa waktu, isak tangisnya mulai mereda. Tanie menyadari bahwa tidak ada lagi yang bisa ia lakukan saat ini. Dia hanya seorang gadis yang terjebak dalam situasi yang tak ia pahami. Sambil menghapus air matanya, ia berbisik kepada dirinya sendiri, "Aku harus tidur... besok, aku akan mencoba bicara dan menjelaskan semuanya."

Tanie perlahan berjalan menuju kasur yang sangat besar dan indah. Lampu malam yang terbuat dari kunang-kunang bersinar lembut di sekitarnya, melantunkan lagu tidur yang merdu. Aroma terapi menenangkan memenuhi ruangan, seolah memijat tubuhnya yang lelah. Dengan segala kemewahan itu, Tanie akhirnya terlelap, tenggelam dalam tidur yang nyenyak, meski hatinya masih dipenuhi kecemasan.

Di sisi lain istana, di dalam ruang pertemuan dengan bendera kerajaan Gosan yang tergantung di dinding, para penasihat dan petinggi kerajaan tengah berdiskusi serius. Raja Gosan duduk di kursi takhta, wajahnya tegas dan penuh pertimbangan.

"Aku sudah memutuskan. Kita akan memperluas wilayah ke Asraf, tapi kita harus melepaskan warga sipil yang tak bersalah," ucap Raja dengan nada tegas, suaranya memenuhi ruangan.

Seorang penasihat bernama Sartos, yang duduk di sebelah raja, langsung menyela dengan keras. "Baginda, itu tidak mungkin! Jika mereka dibiarkan hidup, mereka akan membalas dendam dan merebut kembali hak mereka."

Raja menatap Sartos tajam, lalu berkata dengan suara lantang, "Keputusan sudah bulat, Sartos. Tidak ada lagi yang perlu dibicarakan. Ini harus dilaksanakan."

Seseorang berdiri dan membacakan keputusan rapat dengan suara mantap. "Perang akan dilakukan di wilayah Asraf untuk memperluas ladang dan meningkatkan produksi. Namun, prajurit dilarang membunuh orang-orang yang tidak bersalah. Keputusan ini sudah final."

Semua orang berdiri, memberi hormat kepada raja, sebelum mulai meninggalkan ruangan satu per satu. Raja, yang tampak sedikit lelah, duduk kembali di kursinya dan mengambil segelas air dari meja.

"Sekarang, panggil anak-anakku," perintahnya kepada seorang prajurit yang segera memberi hormat dan pergi.

Raja kemudian bangkit, berjalan ke arah lukisan besar seorang wanita cantik yang mengenakan mahkota, tergantung di dinding ruangan. Lukisan itu tampak begitu hidup, seolah-olah wanita dalam gambar itu menatap langsung ke arahnya.

"Istriku... aku merindukanmu. Restuilah pernikahan ini, demi kelangsungan kerajaan Gosan," bisiknya dengan mata berkaca-kaca.

Tak lama kemudian, langkah kaki terdengar mendekat. Raja berbalik, dan para pangeran, anak-anaknya, memasuki ruangan. Mereka berjalan dengan khidmat, lalu duduk di kursi yang telah disediakan.

"Duduklah," ujar raja dengan suara berat.

Setelah mereka semua duduk, suasana hening sejenak sebelum sang raja mulai berbicara. "Anak-anakku, kedatangan dewi Gosan merupakan awal baru untuk kemakmuran negeri kita. Hari ini kita akan membahas tentang pernikahan dan perang yang akan kita laksanakan."

Jimin, yang duduk di pojok, mulai tampak gelisah mendengar kata "perang." Dia mengepalkan tangan di bawah meja, sementara Jin yang berada di sebelahnya menenangkannya dengan meletakkan tangan di bahunya. Jimin mengangguk kecil, berusaha mengatur napasnya.

Namjoon, salah satu pangeran yang bijaksana, angkat bicara. "Ayahanda, izinkan aku memberi usulan. Ini perang pertama bagi kami, apakah kami akan langsung diterjunkan? Bukankah itu terlalu berat bagi kami?" tanyanya dengan hati-hati.

Raja menatap Namjoon dengan tatapan tajam. "Jangan ragukan keputusan ini, Namjoon. Kehadiran dewi Gosan sudah diramalkan akan membawa keberuntungan bagi kita."

Suga, yang duduk sambil memegang cangkir minuman, tiba-tiba menyela. "Bagaimana bisa kita mengadakan pernikahan dan perang secara bersamaan?"

Raja meneguk minumannya dengan tenang sebelum menjawab, "Pernikahan akan diundur. Perang adalah prioritas. Setelah perang usai, kita akan merayakan pernikahan dan kemenangan sekaligus."

Taehyung, yang tampak gelisah, menggigit kuku jarinya sebelum akhirnya angkat bicara. "Ayah, tidak ada yang bisa menjamin bahwa kami semua akan kembali utuh setelah perang. Mungkin lebih baik jika pernikahan dilangsungkan dulu. Bagaimana jika salah satu dari kami gugur di medan perang?"

Raja mendengar perkataan Taehyung dengan dahi mengernyit. "Apa maksudmu, Taehyung? Jelaskan."

"Aku hanya berusaha memastikan bahwa syarat pernikahan dengan tujuh putra kerajaan tetap terpenuhi. Jika kami menikah setelah perang dan salah satu dari kami tiada, apa itu masih dianggap memenuhi syarat?" jawab Taehyung dengan tegas.

Raja terdiam sejenak, wajahnya menegang, lalu menggebrak meja dengan keras. "Sudah ku katakan, tidak ada yang membantah perintahku!" suaranya membahana di ruangan itu.

Namun, Namjoon berdiri dengan tenang, lalu berkata, "Ayahanda, Taehyung ada benarnya. Jika kami menikah sebelum perang, semangat kami akan lebih kuat karena kami tahu istri kami menunggu di rumah."

Raja mengangguk perlahan, lalu berkata, "Baiklah. Jika itu yang kalian inginkan, aku akan mengabulkannya."

Setelah keputusan dibuat, raja memerintahkan prajurit untuk memanggil Tanie.

Tak lama, Tanie masuk ke dalam ruangan, didampingi oleh pelayannya. Dengan langkah yang sedikit terpincang, dia menghampiri raja dan memberi hormat. "Yang Mulia," katanya dengan suara gemetar.

"Panggil aku ayahmu," perintah raja.

"B-baik, ayah," jawab Tanie, gugup.

"Duduklah," perintah raja.

Tanie duduk di kursi berhadapan dengan raja. Raja menunjuk lukisan istrinya dan berkata, "Dia adalah dewi Gosan. Aku berharap kamu bisa menjadi seperti dia—setia, patuh, dan penuh pengorbanan. Bisakah kamu melakukannya?"

Tanie terdiam sejenak, senyum kaku terukir di wajahnya. "A-aku... iya, ayah."

Namun, setelah itu, ia bangkit dan dengan gugup berkata, "Maafkan aku, tapi aku bukan dewi yang kalian maksud. Aku hanya orang biasa, dan ini bukan duniaku. Aku harus pulang ke adikku, Anna. Tolong lepaskan aku!"

Para pangeran menatap Tanie dengan kaget, sementara wajah raja mulai memerah karena amarah. "Pernikahanmu akan dilangsungkan besok. Jika tidak ada yang ingin kamu katakan lagi, kembalilah ke kamarmu."

Tanie berusaha menyangkal, "Tapi, ayah..."

"Tidak ada tapi! Pergilah ke kamarmu dan bersiaplah untuk besok," potong raja dengan tegas.

Tanie pun pergi, menundukkan kepala, ditemani pelayannya yang membawanya kembali ke kamar. Para pangeran mengikuti di belakang, meninggalkan ruangan dengan pikiran masing-masing.

one girl for seven lordTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang