"Kepada Yang Mulia Raja, silakan berikan keputusan akhir."
Semua mata tertuju pada Raja, yang dengan hati-hati menghapus air matanya sebelum berdiri dari singgasananya. Dengan nada yang tegas namun penuh emosi, dia mengumumkan, "Sebagai seorang Raja...
Istana megah dengan segala keindahannya, dari taman berbunga yang seolah menyala di bawah sinar matahari, hingga rumput yang terasa terlalu halus untuk disentuh. Setiap sudut negeri di dalam istana itu begitu indah, tetapi ada sesuatu yang tidak masuk akal—seakan semuanya ilusi, mimpi yang tidak bisa dia hentikan. Di awal, Tanie hanya merasa aneh, tapi sekarang, hari demi hari, dia harus memaksakan diri untuk menyesuaikan diri dengan realitas yang semakin tidak nyata.
Di sebuah taman indah yang dipenuhi bunga-bunga, Tanie duduk di atas ayunan, rambutnya terayun oleh angin sore yang sejuk. Dia sering ke taman ini ketika pikirannya tak bisa tenang. Di depannya, hamparan rumput yang bersinar di bawah cahaya senja. Tanie berhenti mengayun, matanya menerawang jauh ke langit.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Ini semua... tak terasa seperti nyata," gumamnya pelan. "Aku terperangkap di dunia yang tak seharusnya kutinggali."
Kira, pelayannya, yang selalu setia menemaninya, datang mendekat. "Nyonya," panggilnya lembut. "Sudah berjam-jam Anda duduk di sini. Maafkan saya jika mengganggu, tapi ini sudah waktunya makan malam."
Tanie tersenyum lemah, lalu turun dari ayunan. "Aku gelisah, Kira. Aku merasa terjebak di dalam mimpi yang tidak pernah berakhir. Kadang aku terbiasa dengan kehidupan ini, tapi di sisi lain... aku terus bertanya-tanya kenapa semua ini terjadi padaku."
Kira, mencoba menenangkannya, menepuk lembut bahu Tanie. "Kita sudah pernah membahas ini, Nyonya. Ini memang takdir yang sulit, tapi Anda kuat. Kita akan melewati semuanya."
Namun, Tanie tak bisa menahan perasaannya lagi. Air matanya jatuh membasahi pipinya. "Aku muak, Kira. Aku muak melayani tujuh pangeran yang bahkan tak pernah kucintai. Aku ingin pulang... bertemu keluargaku. Aku tak sanggup lagi berada di sini. Lebih baik aku mati daripada harus menjalani hidup seperti ini."
Kira, terkejut dan penuh empati, segera memeluk Tanie erat-erat. "Jangan berkata begitu, Nyonya. Hidup ini memang terkadang tak adil dan penuh dengan penderitaan, tapi aku akan selalu di sini bersamamu. Kita akan melalui semuanya, bersama."
Tanie menangis terisak dalam pelukan Kira, sementara dari kejauhan, pangeran Taehyung memperhatikan mereka dari balik pohon. Raut wajahnya berubah dingin, lalu ia berbalik dan berjalan menjauh, membawa pikirannya yang dipenuhi kebencian terhadap situasi yang mereka semua jalani.
Di tempat lain di dalam istana, terdengar alunan saxophone yang lembut mengisi ruangan dengan melodi jazz yang menyentuh hati. Taehyung duduk di kursi, memainkan instrumen itu dengan penuh perasaan. Di seberang ruangan, pangeran Jimin bertepuk tangan.
"Bagus, Taehyung. Apa kamu akan memainkan saxophone itu di pesta nanti?" tanya Jimin sambil menyeruput segelas wine.
"Tak ada pesta yang perlu kusemangati. Aku hanya ingin bermain untuk diriku sendiri," jawab Taehyung sambil menghela napas panjang.
Jimin mengangguk. "Apa yang mengganggumu, Taehyung?"
Taehyung memandangi gelas wine-nya dengan tatapan kosong. "Kita akhiri saja pernikahan ini," ucapnya tiba-tiba, penuh ketegasan.