Tanie duduk terkelungkup, berusaha menutupi tubuhnya yang hanya terbalut pakaian tipis dan terbuka. Udara malam menusuk kulitnya, sementara orang-orang di sekitarnya menatapnya penuh rasa ingin tahu. Beberapa dari mereka bahkan berbisik, membicarakan dirinya tanpa rasa malu. Dia tak tahu harus berbuat apa selain mencoba melindungi dirinya dari tatapan-tatapan itu.
Dari atas langit yang gelap, terdengar suara desing yang keras. Sebuah helikopter muncul, diikuti beberapa kendaraan udara lainnya. Tanie memperhatikan dengan kebingungan, jantungnya berdetak lebih cepat. "Apa yang sebenarnya sedang terjadi?" pikirnya.
Tak lama, seorang pria berpakaian prajurit mendekatinya. Ia mengenakan seragam yang sangat berbeda dari yang biasa dilihat Tanie; lengkap dengan sepatu terbang dan senjata di pinggang.
"Menyiapkan akses ke istana. Segera!" perintah prajurit itu melalui sebuah alat komunikasi yang tampak canggih.
Dalam sekejap, prajurit lainnya muncul, menyingkirkan kerumunan orang di sekitar Tanie dan membuat sebuah lingkaran besar, meninggalkannya sendirian di tengah. Kakinya yang cedera membuatnya tak mampu bergerak banyak. Seorang prajurit menggendongnya, membawanya menuju sebuah mobil terbang berwarna putih perak dengan baling-baling sayap besar.
Tanie ingin berbicara, ingin menanyakan apa yang sedang terjadi, tapi bibirnya tak mampu mengucapkan satu kata pun. Kelelahan dan rasa sakit yang dirasakannya terlalu kuat. Dengan perlahan, kesadarannya mulai menghilang, dan terlelap dalam kegelapan.
Saat Tanie membuka mata, ia menemukan dirinya di sebuah ruangan dengan dinding batu dingin. Kakinya kini sudah diperban, tapi nyeri masih terasa kuat. Di depannya berdiri seorang wanita cantik dengan gaun kuno dan mahkota di kepalanya. Namun, mahkota itu tampak sudah berkarat, kontras dengan wajah wanita tersebut yang masih bersinar.
"Kamu sudah bangun?" suara wanita itu lembut, tapi ada kepedihan tersembunyi di balik senyumnya.
Tanie memandang wanita itu dengan bingung. "Siapa kamu? Di mana aku?"
"Aku Saru. Kamu ada di penjara Istana Gonsa," jawabnya sambil duduk di dekat Tanie, menawarkan jabatan tangan.
Tanie menyambut tangan itu dengan ragu. "Penjara? Kenapa aku di sini? Dan kamu kenapa ada di sini juga?"
Saru menghela napas panjang. "Baiklah, biar aku ceritakan."
Beberapa tahun yang lalu, Saru hidup di sebuah kota kecil di tepi kerajaan. Kehidupannya sederhana, hingga suatu hari ketika ia sedang berjalan di pasar kerajaan, tiba-tiba orang-orang mulai memandangnya aneh. Salah satu orang di sana berteriak, "Dewi sudah tiba!" Dalam sekejap, kerumunan mulai mengepung Saru, memaksanya mengikuti pasukan kerajaan ke istana.
Di sana, Saru diperlakukan seperti seorang putri. Mereka menempatkan mahkota perak bertahtakan berlian di kepalanya, simbol Dewi Kerajaan Gonsa. Jika benar dia adalah Dewi yang mereka tunggu, mahkota itu seharusnya memancarkan cahaya aurora borealis di langit kerajaan.
Namun, ketika Saru mengenakan mahkota itu, tidak ada cahaya yang muncul. Sebaliknya, mahkota itu malah berkarat dalam sekejap, membuat semua orang di istana terkejut dan ketakutan. Kekacauan terjadi saat seorang menteri kerajaan ditemukan tewas, dan tuduhan langsung diarahkan pada Saru. Mereka percaya bahwa kehadirannya adalah kutukan bagi kerajaan.
"Aku tidak pernah bermaksud untuk menjadi Dewi mereka," ucap Saru dengan suara pelan, matanya berkaca-kaca. "Tapi mereka tidak mendengarkan. Mereka hanya melihat apa yang mereka ingin lihat, dan aku dipenjara sejak saat itu."
Tanie mendengarkan dengan saksama, merasakan kesedihan yang sama. "Ini semua terlalu aneh. Aku hanya ingin pulang. Adikku, Anna, dia pasti mencariku sekarang. Aku tidak bisa meninggalkannya."
KAMU SEDANG MEMBACA
one girl for seven lord
Fantasy"Kepada Yang Mulia Raja, silakan berikan keputusan akhir." Semua mata tertuju pada Raja, yang dengan hati-hati menghapus air matanya sebelum berdiri dari singgasananya. Dengan nada yang tegas namun penuh emosi, dia mengumumkan, "Sebagai seorang Raja...