Hari demi hari, Tanie menjalani hidup sederhana bersama keluarga kecilnya. Ia telah mengubah pola hidupnya menjadi lebih alami—menggarap sawah dan berkebun. Aktivitas itu membuatnya merasa damai. Adiknya kini tidak lagi meminum susu kaleng, melainkan susu segar dari sapi tetangga. Hidup mereka terasa tenang, jauh dari hiruk-pikuk yang pernah mengganggu.
Pagi itu, Tanie menyiapkan potongan kangkung yang baru dipetiknya dan memberikan kepada neneknya, yang duduk di dekat tungku api. Neneknya meniup api yang berkobar, menciptakan suasana hangat di dalam rumah. Sambil menuangkan susu sapi hangat ke dalam dot untuk adik bayinya, Tanie merenungkan kesehariannya. "Nek, sepertinya dot susu ini sudah sedikit retak. Ibu menyimpan botol susu di sini kurang lebih tiga, kan?" tanyanya sambil memperhatikan botol susu yang retak.
Neneknya mengangguk, lalu bangkit dari tempat duduknya. Dengan langkah bungkuk, ia memasuki ruangan rumah. Tanie memperhatikan sekeliling, menunggu nenek kembali.Tak lama, neneknya muncul dengan wajah cemas. "Nenek sudah cari, tapi tidak ada. Sepertinya nenek lupa menyimpannya," katanya. Tanie penasaran. "Nek, kenapa tidak mencarinya di kamar yang selalu nenek kunci? Mungkin saja dotku yang lama ada di sana, atau ibu menyimpannya di situ."
Mendengar itu, neneknya langsung menatap Tanie dengan serius. "Jangan sekali-kali membuka pintu itu. Apapun alasannya, nenek tidak akan membiarkan siapapun membukanya."
"Ini kan hanya kamar biasa. Aku hanya ingin mencari dot untuk Anna," balas Tanie dengan nada menantang.
Neneknya menunjuk dengan telunjuknya, wajahnya menunjukkan ketidakpuasan. "Nenek sudah bilang, jangan sekali-sekali membuka pintu itu. Seharusnya kamu mengerti. Kamu sudah besar dan bisa menerima perkataan dengan baik, paham, Tanie!"
Tanie terkejut mendengar kemarahan neneknya, sesuatu yang tidak pernah dia duga. Dalam sekejap, semua perkataannya terpendam, dan dia hanya terdiam. Rasa sakit menyelimuti hatinya. Seseorang yang dia anggap tidak pernah marah kini menunjukkan kemarahan. Kecewa itu membuatnya murung, kembali mengingat masalah yang selalu menghantuinya.
Tanie memberikan susu kepada adiknya, namun tidak lama kemudian, air mata mulai mengalir di pipinya.
"Nenek akan pergi sebentar ke rumah Pak Angke. Apa kamu mau sesuatu?" tanya neneknya, berusaha mengalihkan perhatian Tanie. Namun, Tanie tidak menjawab, hanya menundukkan kepala. Neneknya menunggu jawaban yang tak kunjung datang, lalu pergi dengan langkah berat.
Tak lama setelah itu, keramaian terdengar dari luar. Warga berbondong-bondong menghampiri rumah mereka, dengan ekspresi marah di wajah mereka. Salah satu wanita berteriak,
"Hei! Bagaimana ini bisa terjadi? Anak perempuanmu telah dibunuh suaminya! Bagaimana kalian bisa hidup damai di sini?"
Tanie berlari menghampiri kerumunan. "Itu semua tidak benar! Jangan asal bicara, Bu, saya mohon!" teriaknya, membela diri.
Seorang lelaki menghampirinya, membawa koran. "Kami tahu berita ini baru, mana mungkin ini tidak benar?" katanya, menunjukkan headline yang mencengangkan: "Seorang Suami Tega Membunuh Istrinya untuk Selingkuhannya."
Tanie terdiam, kaget. Berita itu benar tentang orang tuanya. Ia berlari kembali ke dalam rumah, mendapati neneknya baru datang dengan tatapan kosong. Seketika, penyakit neneknya kambuh, batuknya sangat parah. "Tanie!" teriaknya, suaranya nyaris tidak terdengar.
"Puaskah kalian, hah? Sekarang bubar!" teriak Tanie kepada kerumunan, membela neneknya.
Dia membawa neneknya masuk ke dalam rumah, memberikan air hangat dan obat. "Maafkan Tanie, Nek. Sekarang lebih baik nenek istirahat. Nanti, ketika nenek pulih, aku akan ceritakan semuanya," ucapnya dengan kepala tertunduk.
"Nak, nenek tidak ingin tidur sekarang. Mendekatlah," kata nenek, menatap Tanie dengan penuh kasih. Tanie mendekat dan memegang erat tangan keriput neneknya. "Jangan menyalahkan dirimu atas semua takdir yang telah terjadi. Nenek mengira ini adalah akhir yang baik. Ibumu tidak perlu merasakan kepahitan dunia ini."
"Tanie tidak bisa bilang apa-apa, Nek. Tanie lemah. Tanie tidak bisa mengingat lagi masalah itu," jawab Tanie dengan suara pelan. "Lupakan yang harus dilupakan," ucap nenek lembut, berusaha menenangkan cucunya. "Usia nenek memang sudah tua. Nenek sudah sangat tua, Tanie," gurau nenek dengan senyum gigi ompongnya.Tanie menahan tangis, namun tawa kecil keluar dari bibirnya.
"Sekarang coba bawa Anna kemari. Nenek ingin melihatnya," perintah nenek."Nenek bisa melihatnya nanti ketika nenek pulih," jawab Tanie, tersenyum lembut."Baiklah," kata nenek dengan senyum tipis di wajahnya.
Tanie memeluk neneknya dengan erat, dan neneknya membalas pelukan itu. "Sekarang sudah malam. Kamu tidur, temani adikmu," ucap nenek, nafasnya terhela-hela.
"Baiklah, Nek. Kalau nenek merasa sakit atau butuh sesuatu, panggil saja Tanie, ya?" jawabnya.Nenek membalas dengan senyumnya yang hangat, memberi Tanie rasa nyaman dalam ketidakpastian yang menyelimuti hidup mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
one girl for seven lord
Fantasi"Kepada Yang Mulia Raja, silakan berikan keputusan akhir." Semua mata tertuju pada Raja, yang dengan hati-hati menghapus air matanya sebelum berdiri dari singgasananya. Dengan nada yang tegas namun penuh emosi, dia mengumumkan, "Sebagai seorang Raja...