"kira, di mana kau?" teriak Tanie, mencari pelayannya yang tak kunjung muncul. Dia melangkah cepat menuju lobi depan kamarnya.
"Selamat pagi, Nyonya," sapa seorang prajurit yang berdiri tegak di sudut. Tanie menoleh, namun hanya bunga yang tergantung di atas pintu yang terlihat.
"Tunggu!" serunya saat melihat prajurit itu bersiap pergi.
"Ya, ada apa, Nyonya?" jawab prajurit dengan sigap, membungkukkan badan sebagai tanda hormat.
"Apa kau melihat Kira? Aku mencarinya sejak tadi," tanya Tanie, kebingungan.
"Mohon maaf, Nyonya. Saya tidak melihatnya," ucap prajurit itu, tetap dengan sikap hormat.
Tanie mengangguk pelan, mengangkat alisnya dalam tanda curiga. Prajurit itu kemudian pergi, meninggalkannya dengan perasaan aneh. "Aneh sekali. Biasanya, kamarku dipenuhi pelayan. Kenapa sekarang tidak ada satu pun yang berjaga?" keluhnya dalam hati.
Dengan langkah mantap, Tanie memasuki kamarnya, menutup pintu dengan pelan. Ia mengambil beberapa gaun dan beranjak menuju kolam pemandian pribadi.
Setelah mandi, Tanie berdiri di depan cermin, memeriksa gaun yang ingin dikenakannya. "Gaun putih ini sangat cantik," ucapnya, tersenyum bangga saat mengenakan gaun berenda yang anggun.
Ia merapikan rambutnya, lalu berkata pada diri sendiri, "Aku merasa bosan. Sepertinya aku perlu menjelajah istana ini. Dengan tidak ada penjaga, kesempatan ini sangat mudah."
Setelah memastikan penampilannya, Tanie melangkah keluar dari kamarnya. Ia menyusuri lorong-lorong kerajaan, merasakan kesunyian yang tak biasa. Setiap langkahnya membuat jantungnya berdebar; rasa takut menyelimuti dirinya ketika tak satu pun terlihat.
Tanie terus berlari, menghindari bayang-bayang kosong di lorong. Ketika menoleh ke belakang, ia tiba-tiba menabrak seseorang.
"Oh, maafkan saya!" ucapnya cepat.
"Nyonya, apa yang kau lakukan di sini?" tanya pria yang ditabraknya.
"Aku merasa ketakutan. Kenapa semua orang menghilang?" jawab Tanie, suaranya bergetar.
Pria itu tersenyum, berusaha menenangkan. "Maaf, Nyonya. Pagi ini ada beberapa konflik. Pedagang di pasar mengeluh tentang rencana pemutusan perdagangan antarnegara karena perluasan wilayah," jelasnya.
"Hah, kenapa mereka tidak memberitahuku? Aku putri di sini. Aku merasa sangat sendirian," keluh Tanie.
"Tenanglah, Nyonya. Mari saya antar ke ruang utama kerajaan. Mereka pasti sedang membahas hal ini," tawar pria itu.
"Baiklah, ayo!" Tanie mengangguk. Mereka mulai melangkah, pria itu dengan sopan menggandengnya.
Dengan langkah lincah, mereka melayang dari lantai enam ke lantai utama di lantai 109. Sesampainya di sana, pria itu mengetuk pintu, dan setelah dibuka, Tanie melihat sekelompok orang berkumpul.
KAMU SEDANG MEMBACA
one girl for seven lord
Fantasy"Kepada Yang Mulia Raja, silakan berikan keputusan akhir." Semua mata tertuju pada Raja, yang dengan hati-hati menghapus air matanya sebelum berdiri dari singgasananya. Dengan nada yang tegas namun penuh emosi, dia mengumumkan, "Sebagai seorang Raja...