Pagi yang cerah di Negara Gonsa, langit tampak biru tanpa awan. Di sawah yang terhampar luas, beberapa petani terlihat sibuk bekerja. Namun, tidak seperti dulu, mereka tidak lagi membajak tanah dengan tangan. Para petani itu menggunakan alat-alat canggih yang menyerupai boneka kayu berwujud robot untuk membantu menanam padi. Ada juga yang memetik buah dengan bantuan sepatu terbang, sementara beberapa lainnya menyiram tanaman dengan awan buatan—teknologi terbaru yang dikembangkan kerajaan.
Seorang pria muda berjalan melewati sawah dan menyapa seorang petani yang sedang mengemas awan buatan ke dalam botol vakum.
"Bagaimana jagungnya, Paman?" tanya pria itu dengan senyum ramah.
Petani tersebut menghampiri pria muda itu dengan wajah lesu. "Jagungnya sudah mulai membusuk. Bukan cuma jagung, beberapa sayuran dan buah-buahan di gudang juga. Sekarang cuma orang-orang di daerah sini saja yang beli," keluhnya.
Percakapan itu didengar oleh beberapa petani lain yang kebetulan berada di sekitar mereka, dan mereka segera bergabung dalam obrolan tersebut.
"Benar. Kerajaan cuma diam saja, nggak peduli. Kita yang susah begini, mereka enak-enakan," sahut seorang petani lainnya dengan nada kesal.
Kegelisahan mulai menyelimuti para petani. Pendapatan mereka turun drastis, dan banyak dari mereka mulai merasa putus asa. Mereka menyalahkan pihak kerajaan yang seolah-olah tidak peduli dengan nasib rakyat kecil.
"Aku dengar istana tetap hidup mewah di tengah krisis ini," keluh seorang petani lain, suaranya dipenuhi kemarahan.
Di tengah kebingungan dan keputusasaan itu, seorang pria yang duduk di sebuah kedai yang tampak tutup berbicara lantang, "Bagaimana kalau kita demo ke kerajaan? Kita nggak boleh terus-terusan diam saja. Aku siap memimpin kalian!"
Kerumunan petani yang mendengar perkataan pria itu mulai menghampiri. Salah satu dari mereka, seorang petani jagung, menatap pria itu dengan curiga. "Siapa kamu? Berani-beraninya bicara begitu."
Pria tersebut bangkit dari duduknya, memperkenalkan diri dengan tenang. "Nama saya Jongsuk. Saya warga sini, tapi saya pergi beberapa bulan untuk melanjutkan pendidikan. Setelah orang tua saya meninggal, saya kembali ke sini untuk meneruskan warisan mereka."
Semua orang terdiam, tampak heran mendengar penjelasan Jongsuk. Suasana semakin tegang hingga Jongsuk melanjutkan, "Aku tahu negeri ini sedang tidak baik-baik saja. Peperangan baru-baru ini memukul ekonomi kita. Bukankah itu benar?"
Salah satu warga mengangguk setuju. "Iya, kami sudah bingung sekarang. Hidup makin susah."
Jongsuk mengangguk, lalu dengan tegas berkata, "Kita tidak bisa terus diam. Ayo kita ke kerajaan, kita harus menuntut keadilan!"
Seorang pemuda maju ke depan, suaranya bergetar saat berbicara, "Aku nggak mau ikut. Kemarin ayah dan pamanku pergi ke kerajaan untuk mengeluh, tapi mereka hampir dibunuh. Kalau bukan karena Dewi, istri dari pangeran ketujuh, mungkin aku sudah yatim piatu sekarang."
KAMU SEDANG MEMBACA
one girl for seven lord
Fantasy"Kepada Yang Mulia Raja, silakan berikan keputusan akhir." Semua mata tertuju pada Raja, yang dengan hati-hati menghapus air matanya sebelum berdiri dari singgasananya. Dengan nada yang tegas namun penuh emosi, dia mengumumkan, "Sebagai seorang Raja...