Di tempat yang terpencil dan tersembunyi dari pandangan orang-orang, Jongsuk duduk bersama Kakek Gansa, sosok tua yang meski tubuhnya lemah, memiliki kecerdasan dan dendam yang membara terhadap kerajaan Gonsa. Mereka berbincang di sebuah markas rahasia yang tersembunyi di balik bukit, tempat mereka merancang segala rencana jahat untuk menghancurkan kerajaan dari dalam. Cahaya obor yang redup menerangi ruangan, menyorot wajah penuh ambisi kedua tokoh yang sedang menyusun rencana berikutnya.
Gansa menatap Jongsuk, tersenyum tipis di balik wajah keriputnya. "Bagaimana? Apakah rencana kita berjalan sesuai harapan?"
Jongsuk mengangguk penuh keyakinan, lalu mulai menjelaskan dengan detail apa yang terjadi setelah kekalahan perang melawan Asraf. "Semuanya berjalan dengan sangat baik, Kakek. Peperangan itu—kekalahan kita—adalah hasil dari pengkhianatan yang sempurna. Aku telah membocorkan seluruh strategi perang Gonsa kepada pasukan Asraf tepat sebelum pertempuran dimulai. Mereka tahu setiap gerakan kita, setiap langkah, dan itulah yang memastikan kekalahan besar pasukan Gonsa. Pangeran-pangeran itu, dengan semua teknologi canggih dan senjata futuristik mereka, tidak berdaya melawan Asraf karena mereka tidak tahu bahwa musuh telah siap menghadapi mereka."
Kakek Gansa tersenyum puas, matanya bersinar dengan kebencian yang mendalam. "Bagus, Jongsuk. Setiap langkah kecil menuju kehancuran Gonsa adalah sebuah kemenangan bagi kita."
Jongsuk melanjutkan, kali ini dengan nada lebih pelan tapi penuh kepuasan. "Namun, perang hanyalah bagian awal dari rencana besar kita. Semua kesialan yang terjadi setelahnya—itu juga karya kita. Kelaparan yang melanda negeri? Aku yang merancangnya. Aku memastikan ladang-ladang tidak lagi bisa berfungsi dengan baik. Para petani yang ketakutan karena wabah penyakit yang menyebar, juga aku yang menyebarkannya secara diam-diam. Wabah itu tidak terjadi secara alami, tetapi aku yang menyuntikkannya ke sumber-sumber air di desa. Penyakit itu membuat rakyat menderita, tetapi pada saat yang sama, kita juga yang diam-diam memberikan obat kepada sebagian dari mereka. Dengan cara itu, mereka mulai percaya bahwa kita adalah penyelamat mereka, dan perlahan-lahan kepercayaan terhadap raja semakin hancur."
Kakek Gansa tertawa kecil, batuk-batuk terdengar jelas dari suaranya yang mulai serak karena usia tua. "Raja bodoh itu semakin tertekan, ya? Dia tidak pernah menyangka bahwa dalang di balik semua bencana ini adalah orang dalam."
Jongsuk menatap Kakek Gansa dengan hormat, melanjutkan penjelasannya dengan antusias. "Ya, dan rencana lainnya berjalan mulus. Aku berhasil menggerakkan rakyat untuk membuat situasi ekonomi terlihat semakin buruk. Aku bekerja sama dengan para pedagang, memastikan pasokan barang-barang penting seperti makanan dan bahan bakar tersendat. Dengan begitu, ekonomi kerajaan tampak runtuh. Harga-harga barang melonjak, dan perdagangan dengan negeri-negeri tetangga berhenti. Rakyat mulai memberontak dalam diam, merasa bahwa raja tidak mampu memimpin."
Jongsuk menarik napas dalam-dalam, merasa puas dengan segala yang telah ia lakukan. "Semua ini membuat raja menjadi putus asa. Dia mengira ini semua adalah kutukan, atau karma atas kesalahannya di masa lalu. Padahal, sesungguhnya, akulah yang menjadi kutukan bagi kerajaan ini. Aku dan kau, Kakek. Kita yang menyebabkan semua ramalan tentang kesialan itu menjadi nyata."
Gansa, dengan wajah yang penuh kebencian, menatap Jongsuk dan teringat kembali pada masa lalunya—pada luka batinnya yang mendalam terhadap adiknya, Raja Gonsa. Dendam itu tumbuh dari pengkhianatan dan hampir berujung pada kematian, hingga akhirnya Gansa berhasil melarikan diri. Dengan Jongsuk, anak yatim yang ia temukan di tengah kehancuran keluarganya, Gansa membesarkan bocah itu dengan satu tujuan: balas dendam.
"Semua kesialan ini," ujar Gansa dengan suara serak, "adalah bagian dari pembalasan kita. Adikku—Raja Gonsa—akan merasakan penderitaan yang dia ciptakan. Dia menggunakan ilmu magis untuk membawa dewi dari masa depan dan menjadikan mereka istri bagi ketujuh pangeran. Semua demi kejayaan semu yang ia bangun. Tetapi, dia melupakan satu hal: aku adalah darah dagingnya, dan darah pengkhianatannya akan menghancurkannya."
KAMU SEDANG MEMBACA
one girl for seven lord
Fantasy"Kepada Yang Mulia Raja, silakan berikan keputusan akhir." Semua mata tertuju pada Raja, yang dengan hati-hati menghapus air matanya sebelum berdiri dari singgasananya. Dengan nada yang tegas namun penuh emosi, dia mengumumkan, "Sebagai seorang Raja...