04

3.2K 391 16
                                    

Hari pertama menikah biasanya banyak pasangan malu-malu meong terus kelihatan segar dari atas sampai bawah. Berseri layaknya mentari pagi, juga riang bagaikan cuitan burung tetangga.

Tapi berbeda sama pasangan legendaris kita. Kalau kata peramal cuaca sih, hujan badai penuh halilintar dikasih toping bencana alam.

Berlebihan? Memang, biar greget.

"Honey, ayolah sekali saja, ya?"

"Enggak, no, ora, andwe! BYE!"

Haruto gerakin tangan seolah nonjok angin setelah Junkyu berlalu begitu saja.

"Kata siapa orang nikah tuh enak? Lah ini baru lewat beberapa jam sudah jadi malapetaka," gumam Haruto agak keras.

Mamanya yang kebetulan lewat langsung nepok kepala anaknya. "Heh, pamali. Mau bikin Junkyu tambah ngamuk?"

"Tapi ma, kejadian ini sudah melebihi batas wajar karena ada hati dan burungku yang dipertaruhkan."

Emaknya heran, dia dulu salah ngidam atau apa? Anaknya jadi menggelikan.

"Mana mama tahu. Lagian dari kapan mantu mama yang manis jadi sensian begitu? Biasanya juga kamu kan yang ngeselin lahir batin." Haruto tersinggung, emang ya rumput tetangga selalu lebih menawan.

"Akhir-akhir ini sih ma. Awalnya dua minggu yang lalu dia marah gara-gara aku telat jemput eh keterusan galaknya." Seingat Haruto sih begitu.

Mamanya menesilik, mempelajari raut wajah anaknya yang luarbiasa ganteng walaupun agak miring.

"Kalian main aman?"

"Ya aman. Nggak pernah berurusan sama polisi tuh."

Oke, mama mulai emosi.

"Gelar Sarjana punyamu hilang kemana? Maksud mama tuh kalian berdua kalau berhubungan pakai pengaman apa enggak?" Sabar mama cantik, perawatan mahal, jangan sampai muncul kerutan.

"Ya pakai tapi beberapa kali enggak. Kenapa sih? Emang kalau berhubungan nggak pakai pengaman bisa bikin tensi naik?"

"Tunggu, anak Farmasi kuliahnya ngapain aja?"

"Ngapsul ma, urusan perobatan sama takaran. Sumpah, agak nyesel tapi kuliah sampai lulus. Kepalaku rasanya mau pecah."

Mama mengehela napas berat terus senyum tipis. "Pantesan kamu ngeselin. Ternyata stress efek kuliah."



****


"Aku kalau ngebatalin Pascasarjana kira-kira kamu setuju nggak? Disuruh ambil alih usaha papa soalnya," tanya Haruto sambil mainin jari Junkyu.

Posisinya sekarang dia lagi tiduran di paha Junkyu terus ngebiarin si manis itu baca buku dengan tenang. Walaupun ketenangannya sirna karena diusilin terus.

"Kamu sebenarnya niat ambil alih usaha papa mertua kan? Kelihatan kok kalau sudah malas kuliah."

"Pengertian banget ya, manisku. Aku punya pikiran-"

"Bagus deh, kirain otakmu sudah nggak berguna."

"Dengerin dulu, Yang." Haruto narik ujung hidung Junkyu pelan. "Aku kepikiran biaya hidup sih. Kita sudah nikah kalau aku masih harus kuliah dan nggak kerja harus makan apa?"

Junkyu ngangguk. "Tumben otakmu jalan."

Mengabaikan balasan yang barusan, Haruto lanjut ngomong. "Tabunganku mungkin banyak, tapi nggak mungkin cukup buat kuliah apalagi kehidupan rumah tangga kita. Mending aku kerja, hitung-hitung tabungan buat calon anak kita nanti," katanya sambil kecup buku jari Junkyu.

"Kan bisa pakai uangku dulu. Aku sudah kerja kalau kamu lupa."

"No, Darl! Kepala rumah tangganya itu aku bukan kamu."

Junkyu senyum. "Kan kita saling bantu, Sayang. Lagipula kamu ngomong gitu emang udah siap punya anak?"

Haruto ngedecak pelan. "Kalau dikasih siapa sih yang nggak mau? Ya tapi jangan dalam waktu dekat, jatuhnya ntar repot."

Junkyu cuma ngangguk nggak peduli sambil lanjut baca buku. Tapi rautnya langsung datar, mood yang tadi bagus berubah seketika.

Kata-kata Haruto tiap hari memang nggak bisa difilter dan dia sudah terbiasa. Tapi buat hari ini kok dia kecewa ya?

Efek nikah muda bukan sih? Tolong jawab iya dong biar Junkyu nggak overthinking.








————Tbc

Perasaan tiap up tata bahasanya beda mulu. Nggak konsisten banget dih yang nulis.

Rumah Tangga | Harukyu [2]✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang