Maaf..

9 6 0
                                    

Happy reading🤗

==========

Hujan baru saja mereda setelah langit menangis sejak tadi siang. Kawanan burung terbang di langit sore yang sudah tidak tertutupi awan hitam. Pelangi melukis di langit jingga. Indah. Tapi tidak mampu mengalahkan ke indahan wajah Thalia. Sudah lima bulan lalu sejak pergantian tahun harusnya sudah masuk musim kemarau, tapi sesekali hujan turun walau tidak sesering saat musim penghujan. Hubunganku dengan Thalia sudah berusia enam bulan. Memang bukan hubungan yang singkat dalam pacaran, tapi umur hubunganku baru seumur jagung bila di bandingkan dunia pernikahan yang bahkan bisa sampai puluhan tahu.

Aku bersiap-siap mandi. Malam ini aku berencana mendatangi rumah Thalia. Yah, aku harus meredakan amarah Thalia. Pertengkaran kami belum usai, dan setiap kali membujuk Thalia supaya tidak marah lagi, mau tidak mau aku harus menemuinya.

Di dapur tidak ada Mama saat aku keluar, biasanya jam segini Mama sedang berkutat dengan alat-alat masaknya menyiapkan makan malam. Mungkin Mama sedang mandi atau apalah yang di lakukan bersama Ayah di kamar. Baru kemarin Ayah sampai dirumah.

"Rey, kamu mau keluar?" Tanya Mama begitu aku menutup pintu kamar mandi, setelah sepuluh menit berada di dalamnya.

Aku mengangguk pelan, menggosok rambutku yang basah dengan handuk.

Wajah Ayah muncul di balik pintu lemari pendingin, "Mau kemana?"

"Biasalah, paling ke rumah Thalia," ujar Mama melirik Ayah. Pandangan mereka terlihat menggoda saat melirikku disaat bersamaan.

Ayah duduk di samping Mama yang mengiris sayuran di meja makan, "Sepertinya aku harus beli mobil baru, Ma. Kalau Rey ke rumah Thalia terus kita tidak kebagian memakai mobil. Gagal deh, dinner kita di restoran malam ini."

Aku melihat Ayah menyeringai padaku, meledek.

"Kalian, kan, bisa berduaan di rumah kalau aku tidak ada." Jawabku, berlalu melewati mereka menuju kamar.

Lima belas menit untuk berpakaian dan merapikan penampilan di cermin, aku keluar dari kamar. Mama dan Ayah sudah pindah duduk di depan televisi, melihat mereka asyik mengobrol berdua sementara televisi hanya sebagai latar suara diantara mereka.

"Masakan Mama sudah matang?" Aku menghampiri mereka.

Mama hanya mengangkat bahu menatapku, "Mama tidak jadi masak."

Apa ini? Bukankah tadi Mama sedang mengiris sayuran?

"Kalau Mama masak, nanti tidak ada yang makan. Kamu mau pergi sama Thalia, pasti kalian makan diluar. Sementara dirumah cuma ada Mama sama Ayah," jelas Mama yang seakan tahu apa yang tadi terlintas di kepalaku. "Jadi mungkin nanti Mama delivery saja."

"Terus sekarang Rey makan apa, Ma?" Tanyaku. Kelakuan Mama kalau sedang ada Ayah memang tidak bisa di tebak, dan selalu aneh-aneh! Aku mengusap wajah, sedikit jengkel juga.

"Beli saja di jalan," jawab Mama enteng tanpa melihatku.

Tatapanku beralih pada sosok yang duduk di sebelah Mama, menjulurkan telapak tangan kananku. "Yah, minta uang."

Ayah menatapku, tatapan bertanya.

"Buat uang makan. Rey, kan, sore ini tidak dikasih makan sama Mama," aku mengeluh. Sebenarnya aku masih ada sisa uang saku, tapi tabunganku untuk membelikan kado ulang tahun Thalia bulan depan.

Ayah mengeluarkan lembaran kertas dari dompetnya, memberikan beberapa padaku. "Ayah kasih lebih, kamu pasti mau jalan sama Thalia, kan? Masak, iya, anak gadis orang tidak dikasih jajan."

Just a DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang