Pekan Olahraga

11 7 0
                                    

Sudah beberapa hari sejak aku melihat Thalia berboncengan dengan pria lain, dia tak kunjung terlihat di halte bus. Entah itu berangkat sekolah atau pulang, juga aku tidak melihat dia berboncengan dengan pria itu.

Pun Arya. Dia sempat menjadi pendiam selama dua hari setelah aku bercerita tentang Thalia yang memelukku. Entah ada apa dengannya. Awalnya aku kira Arya sedang sakit gigi, aku sempat bertanya, tapi dia menggeleng kalau dia sedang puasa berbicara. Anak itu, entah kapan dia bisa serius menanggapi sesuatu.

"Rey!" Agam berseru, datang menghampiri mejaku.

"Bagaimana? Sudah siap untuk bertanding di pekan olahraga nanti? Acaranya dua hari lagi, lho." Agam menepuk bahuku, menyeringai lebar.

Aku mengangguk. Aku tahu soal itu. Aku dan Arya bahkan sudah berlatih sejak beberapa hari lalu. Yap! Kami adalah tim yang selalu bekerja mendekati deadline. Seperti kebanyakan orang. Lagi pula, aku dan Arya hanya bertanding bulu tangkis, dan toh, kami tidak pernah mendapat medali emas.

"Bagaimana kesiapan acara?" Arya bertanya, duduk diatas meja dengan sembarang. Sebenarnya itu hanya pertanyaan basa-basi.

"Kalian tahulah kalau acara pekan olahraga disiapkan oleh anggota OSIS dan pihak sekolah."

Arya mengangkat bahu. Sementara Aku hanya mengangguk-angguk dengan takjim.

Kelas sepi, hanya ada kami bertiga dan beberapa siswa lain yang memutuskan untuk tetap di dalam kelas selama jam istirahat.

"Baiklah, aku ke kantin dulu. Kalian tidak mau ikut?" Agam berdiri, merapikan kemejanya yang sedikit kusut.

Aku dah Arya menggeleng. Kantin sudah pasti ramai sekali. Baru lima menit yang lalu terdengar suara bel istirahat. Nanti-nanti saja kami ke kantin, saat sudah sepi.

Tanpa bicara lagi, Agam langsung balik kanan menuju kantin.

Sunyi menyelimuti suasana di mejaku. Arya sudah pindah dari meja, duduk di kursinya disebelahku. Memainkan handphonenya.

"Arya," aku berkata pelan.

Arya menyahut dengan gumaman.

"Beberapa hari terakhir, kenapa Thalia tidak terlihat di halte?"

Arya menoleh, meletakkan handphonenya di meja. "Aku tidak tahu. Kamu bisa tanyakan itu pada mama kamu. Bukannya mama kamu dekat dengan mama Thalia?"

Aku menghela napas pelan. Semalam aku sudah mencoba untuk bertanya pada mama. Tapi urung. Bisa jadi, mama tahu kalau aku menyukai Thalia.

"Saranku, kalau kamu menyukai Thalia, cepat bilang padanya. Soal respon Thalia setelah kamu menyatakannya, tidak usah dipikirkan. Lagi pula, aku yakin kalau Thalia juga sedikit tertarik padamu." Arya berkata, menatap lurus pada layar handphonenya.

Aku sendiri tidak yakin dengan kalimat terakhir Arya. Bisa jadi Thalia memang baik pada siapa saja, 'kan? Lagi pula seharusnya aku tidak memikirkan soal perasaan untuk sekarang-sekarang ini.

Huh. Memikirkan hal itu membuat otakku terasa pusing. Aku bersandar pada kursi, melemaskan bahuku. Menatap Arya yang asyik main handphone. Padahal sejak tadi, dia hanya berlagak sok sibuk saja dengan bermain handphone. Toh, tidak ada yang mengechat. Jarinya hanya sibuk scroll-scroll aplikasi bernama instagram, memberikan like pada postingan yang muncul diberandanya.

Bosan menatap Arya yang sibuk dengan dunianya sendiri, aku memutuskan untuk ke kantin saja. Setidaknya disana banyak orang berlalu-lalang, daripada menatap Arya terus. Sudah setiap hari aku menatapnya.

"Eh, mau kemana?" Arya bertanya, sedikit berseru sebenarnya ketika aku sudah mencapai ambang pintu kelas.

"Kantin." Balasku tanpa menoleh.

Just a DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang