Bayangannya

15 7 0
                                    

Jalanan sedikit macet, padahal jarak rumah Thalia dari rumahku tidak jauh-jauh amat. Memang sekarang jamnya pulang kerja, itulah alasan mengapa jalanan macet. Sejak tadi aku dan Thalia hanya berdiam diri saja. Jujur aku masih merasakan debaran saat tadi tubuhku dan tubuh Thalia mendekat. Walaupun sekarang sudah tidak sekencang sebelumnya.

"Ehm, ibu kamu itu teman lama yang dimaksud mama baru pindahan rumah kemarin, bukan?" Aku bertanya, mataku fokus menatap jalanan macet.

"Iya." Thalia menjawab singkat, membenarkan anak rambut didahi.

Aku menelan ludah, kembali bertanya. "kalau begitu kamu baru saja pindahan sejak kemarin pagi?"

Thalia kembali menjawab singkat. Aduh, kenapa pula dia menjawab sesingkat itu. Membuat aku bingung dan bersusah payah untuk mencari topik pembicaraan. Aku mengusap wajahku untuk kesekian kali sejak aku mengendarai mobil bersama Thalia.

Diam-diam, ternyata Thalia mengamati gerak-gerikku sejak tadi.

"Kamu sedang grogi, ya?" Tanya Thalia telak.

Aku kembali menelan ludah, menggeleng kuat-kuat. "Tidak. A-aku hanya sedang memikirkan sesuatu."

"Kalau begitu memikirkan apa?" Thalia bertanya.

Aku terdiam, aku bingung harus menjawab apa. Thalia justru menatapku menyelidik. Dia terus menatapku sampai membuat aku berkeringat, menelan ludah sambil mengusap wajahku.

Sedetik kemudian, Thalia justru tertawa.

Aku menatapnya penuh tanda tanya?

"Kamu jelas sekali sedang salah tingkah," jelas Thalia setelah tawanya reda. "Sejak tadi kamu terus mengusap wajah, menelan ludah, dan gerakan mata yang kesana kemari saat aku bertanya. Kamu grogi ada didekat aku, ya?"

Aku mengangguk sekaligus menggeleng. Aduh, tebakannya tepat sekali. Tidak mungkin aku berkata jujur, bilang padanya kalau aku memang salah tingkah sejak tadi. Atau sekedar mengangguk.

"Aku hanya tidak terbiasa dekat dengan perempuan," jawabku asal. Semoga saja Thalia tidak kembali bertanya lebih jauh.

Thalia mengangguk-angguk, berkata dengan suara yang mantap. "Berarti itu sama saja kamu grogi ada di deket aku."

Sudahlah, aku memutuskan diam. Enggan melanjutkan, karena sudah pasti Thalia akan bertanya lebih jauh atau dia justru asyik menggoda aku yang terus saja salah tingkah. Aku menghela napas pelan, berusaha menurunkan ritme debaran di jantungku. Setidaknya, satu langkah kecil untuk mengurangi grogiku.

Lima belas menit dijalan yang macet, barulah aku sampai di depan rumah Thalia. Aku menghentikan mobil tepat didepan gerbang rumah Thalia. Rumah bertingkat dua dengan warna cat biru langit dengan pagar setinggi kurang lebih tiga meter. Aku mematikan mesin, mengaktifkan rem tangan kemudian membuka pintu mobil. Melangkah keluar dan membukakan Thalia pintu. Ia tersenyum melihatku, lesung pipinya terlihat begitu ia tersenyum. Tanganku menyentuh kepala Thalia saat ia hendak keluar, mencegah kepalanya terantuk atap mobil.

"Terima kasih," ujarnya. "Kamu mau mampir dulu tidak?"

Aku tersenyum, menggeleng. Lebih baik aku pulang, kalau aku mampir mungkin aku bisa lebih salah tingkah ketika bertemu orang tua Thalia. "Titip salam saja sama mama kamu. Aku langsung pulang saja, soalnya Ayah baru pulang ke rumah setelah berbulan-bulan."

Thalia mengangguk, "ya sudah. Sampai jumpa."

Aku masuk ke dalam mobil, menyalakan mesin kemudian melambaikan tangan pada Thalia yang juga membalas lambaian tanganku.

Sampai dirumah, setelah aku memarkirkan mobil Ayah di halaman rumah. Aku langsung menghempaskan tubuhku diatas kasur. Tanganku memegang jantung, debaran itu sudah tidak terasa lagi. Apa mungkin aku memang salah tingkah karena dekat-dekat Thalia? Ah, sialnya debaran itu terasa kembali setelah aku memikirkan Thalia, mengingat senyumnya membuatku tanpa sadat ikut tersenyum.

Kenapa aku jadi memikirkan Thalia seperti ini? Kenapa juga aku tersenyum saat membayangkan senyumannya? Tapi memang senyuman Thalia sangat manis ditambah dengan hadirnya lesung pipi di pipi sebelah kanannya. Ahhh, aku mengacak rambut frustasi. Menyuruh pikiranku berhenti memikirkannya.

"Untuk apa? Untuk apa aku memikirkannya?" Aku mengusap wajah. Melangkah ke meja belajarku. Lebih baik aku mengerjakan tugasku. Eh, tunggu dulu. Dimana buku catatanku? Aku ingat tadi menaruhnya disini. Aku mengangkat semua tumpukan buku, mencari tapi tidak ketemu. Mencari di kolong meja pun tidak ada, di kolong kasur, dalam tas. Tidak ketemu juga.

Aku menatap meja belajar dengan frustasi. Tidak mungkin buku itu pergi sendiri bukan? Aku memutuskan mencari keluar kamar, ke tempat-tempat mustahil buku itu bisa ada. Kemudian aku melihat buku-bukuku berserakan di meja depan sofa diruang tamu. Aku langsung mengambilnya dan melihat isinya. Ini benar buku kimia milikku dan seluruh tugasnya sudah diisi. Ah, aku lupa. Tadi Thalia sempat membantuku mengerjakan tugas kimia ini. Sejak kapan aku jadi pelupa?

"Cari apa, Rey?" Tanya mama dari dapur, sedang menyiapkan untuk makan malam nanti.

Aku menggeleng, "mengambil buku kimia."

Aku segera merapikan buku-buku milikku yang berserakan dimeja, membawanya ke kamar. Kemudian menaruh buku itu kedalam tas. Sungguh pikiranku sangat kacau hanya karena memikirkan Thalia. Lebih baik aku mandi daripada aku terus melakukan kesalahan. Mungkin setelah mandi pikiranku akan membaik.

Usai mandi, aku langsung berganti pakaian. Keluar dari kamar menuju ruang tamu. Disana sudah ada Ayah yang sedang menonton berita, segera aku duduk disamping Ayah.

"Gadis yang tadi sore bertamu, dia itu pacar kamu, ya?"

Aku langsung menoleh, pertanyaan Ayah sungguh tidak teruga. Berdasarkan asumsi apa Ayah bertanya seperti itu? "Tidak. Aku tidak punya hubungan dengan Thalia. Memangnya mana ga bilang kalau Thalia itu anak teman mama?"

Ayah terkekeh, "tapi Thalia itu cantik, lho. Gak apa-apa kalau Rey jadikan pacar. Tadi Ayah lihat kamu sering salah tingkah saat Thalia membantu kamu mengerjakan tugas. Atau jangan-jangan kamu suka sama Thalia, ya? Dan kamu malu untuk bilang padanya."

Aku menggeleng kuat-kuat. Ayah sejak kapan senang menggodaku?

"Memangnya kamu tidak suka dengan Thalia? Dia cantik tahu, dan dia juga baik. Thalia itu gadis yang pintar. Pasti banyak yang naksir sama dia," ayah kembali menggodaku.

Aku menepuk jidat. Ayah ini, ada-ada saja.

"Kalau begitu aku juga punya banyak saingan, Yah," aku menjawab asal.

Ayah justru tertawa, "berarti kamu memang suka padanya."

Eh? Aku menghela napas berat, kenapa aku harus mengatakan itu? Ayah jadi semakin menggodaku. Tapi memang benar kata Ayah, kalau Thalia itu gadis yang sudah pasti banyak disukai pria lain, dan banyak pria lain yang sudah pasti mendekatinya. Ah, kenapa aku memikirkan ini? Memangnya aku suka padanya?

"Ayah kapan kembali bekerja?" Aku bertanya, asal mengambil topik yang terlintas diisi kepalaku.

Tawa Ayah berhenti seketika, "Kamu barusan mengusir ayah? Tidak suka Ayah berlama-lama dirumah?"

Aku menggeleng, bukan itu maksudku. "Tidak, Ayah. Aku hanya asal bertanya."

Ayah terlihat pura-pura cemberut. Baiklah, sepertinya lebih baik aku masuk ke dalam kamar saja. Bayangan pikiran Thalia sukses membuatku melakukan banyak kesalahan. Aku tidak mau sampai kesalahan-kesalahan lain terjadi dan malah membuat Ayah semakin menggodaku. Apalagi jika mama juga ikutan, pasti dia sudah akan bilang pada temannya kalau aku suka pada anaknya.

Didalam kamar aku hanya berbaring menatap langit-langit kamar. Sejak tadi aku hanya bisa melihat bayangan Thalia, sekeras apapun usahaku untuk memikirkan hal lain tapi bayangan Thalia selalu muncul dimanapun pikiranku melayang. Ada apa ini? Apa memang aku suka padanya? Tapi ayah bilang Thalia adalah gadis yang banyak disukai pria lain, sudah pasti Thalia banyak yang mendekati.

Aku memutuskan tidur. Daripada aku terus memikirkan Thalia. Setelah memejamkan mata dan lagi-lagi bayangan Thalia yang nampak, hingga aku jatuh tertidur.

==========

HAPPY READING!!!!!!!

Just a DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang