Info Laptop

8 4 0
                                    

Happy Reading manteman

==========

Kami menghasbiskan waktu selama tiga jam bertamu di rumah Arya. Itu pun hanya Thalia dan Rani yang asyik berbincang, sementara aku dan Arya saling diam, sibuk dengan ponsel masing-masing. Malam telah tiba sejak beberapa jam lalu saat aku menghentikan mobil di depan gerbang rumah Thalia. Kami sepakat setelah dari rumah Arya tidak ada tujuan lagi, tapi lebih tepatnya itu keinginan Thalia sendiri.

"Kamu langsung istirahat, ya," aku membantu Thalia membuka silt beltnya.

Thalia menggumam terimakasih, keluar dari mobil. Seperti biasa, aku selalu memastikan Thalia masuk sampai ke dalam rumah hingga pintunya menutup sempurna, baru aku meninggalkan halaman rumah ini.

Aku tiba di rumah saat Mama dan Ayah tengah bersiap-siap hendak pergi.

"Kebetulan kamu sudah sampai," Mama menyahut ketika aku baru saja membuka pintu, sedang merapikan tatanan rambutnya padahal rambut pendek Mama cuma di gerai biasa.

Aku beranjak mencium tangan Mama, "Memangnya Mama mau kemana?" melirik sekitar, Ayah baru saja keluar dari kamar, sudah berpakaian rapi; kemeja lengan panjang yang digulung dipadukan dengan celana kain.

"Kencan." Ayah yang menjawab, menyeringai.

Astaga! Tanganku tidak bisa menahan diri untuk tidak menepuk dahi. "Iyasudah, hati-hati."

Ayah menerima kunci mobil dariku, beranjak keluar. Mama juga. Tapi beliau menyempatkan dulu mencium pipi kiriku bahkan sebelum aku sadar Mama sudah menghilang di balik pintu. Apa-apaan? Sejak kapan Mama suka mencium pipi anaknya. Aku mengoles-oles pipi bekas ciuman Mama. Lihatlah! Telapak tanganku ada noda merah. Ini pasti lipstik Mama.

Tapi sayangnya sudah dibersihkan dengan air juga masih ada bekasnya. Sudah di gosok-gosok dengan handuk juga tetap berbekas sampai pipiku terasa perih. Ini menyebalkan. Bahkan dicuci dengan sabun masih tampak bekasnya.

Aku menghela napas menatap pantulan di cermin. Mengembalikan handuk di tempatnya semula. Rasanya pipiku perih, aku meringis. Setidaknya yang sekarang lebih baik dari tadi, nodanya sedikit memudar walaupun belum menjadi samar. Pada akhirnya aku menyerah dan masuk ke dalam kamar. Ketika melihat layar ponsel, ada sebuah notifikasi deadline tugas yang aku atur di ponsel. Sialnya, jam 12 malam ini adalah waktu terakhir pengumpulan.

Dengan segera aku membuka laptop di meja, menyalakannya. Sedikit pusing dengan tugas ini, aku membuka whatsapp web di laptop. Menunggu beberapa detik loading, saat aku bersiap memindai barcode, ternyata layar laptop langsung masuk ke akun whatsapp seseorang. Sepertinya Arya lupa mengeluarkan akunnya tadi siang. Awalnya aku ingin mengeluarkan akun milik Arya, tapi ternyata whatsapp Arya kedapatan panggilan dari seseorang. Aku tidak bisa membaca namanya, sebab Arya hanya memberikan emotikon love. Tapi yang aku tahu, jelas aku tahu betul siapa orang yang memiliki foto profil itu. Dan entah dimana Arya berada, dia sepertinya mengangkat telpon tersebut.

Sayang sekali, walaupun akun di handphone Arya dan di laptop milikku tersambung, aku tidak bisa mendengar percakapan mereka. Tapi apa maksud Arya memberi nama kontak seperti itu. Juga kenapa orang itu menelpon Arya? Ada ada dengan mereka?

Rasa penasaran dan banyak pertanyaan menyerang kepalaku secara bersamaan. Hatiku memberi sinyal seperti ada yangn tidak benar. Tanpa memikirkan lagi privasi Arya, aku mencari Riwayat chat dengan kontak yamg barusan menelpon. Ketemu, aku membaca seluruh pesan-pesan mereka, yang ternyata hampir tiap jam mereka bertukar pesan dengan emotikon love bahkan tidak jarang dengan panggilan sayang dari keduanya. Tanganku mengepal secara naluriah.

Tanganku membuka kamera ponsel, mengambil beberapa gambar yang ada dilayar laptop. Kemudian menelpon seseorang di salah satu kontak ponselku. Tidak bisa, ia sedang dalam panggilan lain. Aku langsung bergegas keluar rumah. Aku harus menemui Arya, aku harus bertanya padanya.

Berjalan dengan tergesa-gesa menuju rumah Arya, jalanan sekitar rumah sudah sepi. Ini sudah pukul setengah sepuluh malam. Sudah pasti banyak mereka yang sudah tidur di kamar masing-masing. Tapi Arya jelas tidak. Ia belum tidur, anak itu sedang bertukar sapa dengan seseorang yang mungkin sekarang sudah menggunakan kalimat-kalimat manis.

Sepuluh menit berjalan kaki, aku sampai pada tujuanku. Tapi ada sebuah mobil terparkir disana. Orang tua Arya pasti sudah pulang. Pintu rumah itu masih terbuka. Tapi aku bisa melihat kalau di ruang tamu tidak ada orang. Aku mengetuk pintu tiga kali, seseorang keluar. Mama Arya tersenyum begitu melihatku.

"Ini Rey, kan?" Beliau mempersilakan aku masuk.

Aku mengangguk sopan, "Maaf Tante, aku ganggu malam-malam. Tadi sudah bilang Arya mau ke sini sekarang, kata dia disuruh datang saja karena Arya nya juga belum tidur."

Mama Arya menggeleng, masih dengan senyum mengembang. "Tidak apa. Arya ada diatas."

Aku mengucapkan terimakasih sebelum menaiki satu-persatu anak tangga. Membuka pintu kamarnya dengan membanting. Ia yang aku tuju terbangun kaget diatas kasurnya. Seperti dugaanku, ia sedang menelpon dengan seseorang. Tapi begitu aku datang, ia buru-buru memutuskan sambungan. Tatapan matanya terlihat tidak suka menyambut kedatanganku.

Dengan Langkah kaki lebar aku mendekatinya, Arya bangkit berdiri melihatku. Tanpa aba-aba kepalan tangan kananku meninju wajah Arya. Untuk beberapa saat, kami masih di posisi yang sama, dan entah mengapa rasanya sedikit sekali udara disekitarku, udara terasa penuh sesak.

Manusia dihadapanku menatapku dengan tatapan yang tidak bisa dijelaskan.

Kami saling menatap dalam diam. Napasku tersengal.

"Kita tidak lagi berteman." Aku kehilangan kata-kata atas apa yang telah dilakukan orang ini. "Tidak ada teman yang mencuri dari temannya sendiri."

Aku mengeluarkan ponsel dan menunjukkan semua hasil gambar yang tadi aku dapatkan, mengangkatnya tepat di depan wajah Arya. Ia menatapnya, membacanya. Sudah jelas Arya tahu apa yang aku maksud. Tapi yang membuat perasaanku teriris, tidak ada perubahan ekspresi apapun di wajahnya, tatapan permintaan maaf seperti dalam khayalanku. Tapi yang aku terima justru tatapan dingin.

"Bagus kalau sudah tahu, jadi aku tidak usah repot main belakang," Arya menyahut, dengan suara nyaris seperti bisikan. Kemudian ia terkekeh.

Kali ini aku benar-benar tidak mengenal Arya. Orang yang sudah bersama-sama denganku dalam hitungan tahun, berubah dalam sekejap mata. Bahkan tadi pagi aku masih bisa mengenali Arya.

Tawanya reda, ia menatapku dengan tajam, "Sudah lama aku juga menyukai Thalia, sejak kita bertiga pertama kali bertemu. Bukan Cuma kamu saja yang malu mengungkapnya, aku juga. Tapi saat aku tahu kamu juga suka sama Thalia, aku berusaha diam. Berpikir kalau nanti perasaan itu hilang dengan sendirinya. Tapi perasaan itu terus ada, Rey. Kamu bahkan tidak tahu betapa sakitnya setiap kali melihat kebersamaan kalian. Tapi aku tetap diam. Bersikap seolah aku sedang iri karena kamu sudah punya pacar."

Ini.. benarkah yang diucapakan oleh Arya? Kenapa aku sampai tidak tahu. "Astaga! Tapi bukan seperti ini caranya. Aku salah apa? Kenapa, kenapa aku yang mendapat belasan?"

Arya mendengus, tatapan seolah jijik melihatku. "Aku tidak pernah membalas apapun, aku hanya mengambil sesuatu yang aku mau. Thalia sendiri yang membuka pintu untukku."

Ya Tuhan! Ku kira kejadian lalu adalah yang terpahit bagiku. Tapi kenapa aku kembali dihadirkan dengan kejadian super menyakitkan seperti ini? Tidak bisakah hidupku senormal teman-teman yang lain?

Kumohon, sambar aku dengan petir sekarang juga!


==========

helloooo! apa kabar nih kalian semuaa? gemes banget sama bagian ini kurasa gak ada feel emosi dan yahh gatau deh aku ngerasa kurang puas aja sih sama hasilnya :(( semoga kalian gak bosen bacanya huhuhuhu

Just a DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang