Reyhan, Antagonis

4 4 0
                                    


2 bab terakhir bismillah

==========

Mataku silau ketika langit kemerahan berubah menjadi keemasan. Saat aku melirik jam tangan, sudah hampir pukul enam pagi. Di jalanan sudah ramai kendaraan yang mulai memadat. Lenganku mengusap bahu yang hanya memakai kaos lengan pendek. Udara terasa dingin sekali. Aku beranjak berdiri, meninggalkan bekas duduk yang hangat di kursi taman.

Kedua kakiku kembali menyusuri jalan yang aku lewati semalam, rumput disekitar basah oleh embun. Sungguh pagi yang mengegarkan. Tidak tahu sudah berapa lama aku berjalan, kakiku mulai terasa pegal-pegal Ketika aku sudah memasuki gang rumahku. Aku berdiri tepat di depan pagar rumah, mobil Ayah terparkir rapi di teras, pintu masih tertutup. Aku membuka gerbang perlahan dan berjalan melewatinya. Mama dan Ayah menyambutku, mereka yang sedang berada di dapur hendak melakukan sarapan langsung berdiri dan menghampiri begitu melihat aku datang.

"Kamu habis darimana, sih? Semalaman tidak pulang. Dicari di rumah Arya juga tidak ada. Terus semalam di telpon kenapa tidak diangkat? Kamu dimana?" Mama menyosorku dengan pertanyaan-pertanyaan, wajahnya terlihat kesal sekaligus khawatir.

Ayah mencoba menarik Mama, berusaha menenangkan. "Kamu sudah makan?" Ayah menatapku.

Aku menggeleng, kemudian Ayah mengajak kami untuk sarapan.

Sebelumnya, Mama masih berusaha protes ingin mendengar dulu aku habis darimana semalam. Saat mereka pulang tiba-tiba rumah kosobg tanpa dikunci pintu. Mereka sudah pasti khawatir, apalagi aku tidak megabari mereka, telpon mereka tidak diangkat sampai pagi baru pulang. Aku yakin pasti Mama dan Ayah memiliki satu pertanyaan besar, ada apa dengan anak mereka. Hanya saja Ayah lebih memilih menahan pertanyaannya.

Mama mengambil piring untukku dan menyendokkan nasi dengan lauk disana tanpa bertanya aku mau apa? Aku makan dalam diam, membiarkan suara dentingan sedok beradu dengan piring sebagai musik yang mengalun selama kami sarapan. Lima belas menit seluruh isi piring kami tandas.

Aku berdiri, "Aku pamit mandi dulu, Ma, Yah."

Mama hendak membuka mulut, tapi Ayah mencegah Mama dengan memegang lengannya dan menggeleng pelan. Aku mengambil handuk dan baju ganti dikamar, kemudian baru menuju kamar mandi. Di dalam, aku tidak benar-benar mandi, hanya menyalakan air dan menatap diriku sendiri di dalam cerminan air. Ketika aku sudah merasa lama berada di dalam kamar mandi, aku memutuskan menyiram tubuhku dengan segayung air kemudian keluar dari kamar mandi.

Mama dan Ayah tidak melepas pandangannya dariku, membuatku risi dan berpura-pura tidak memperhatikan. Hingga tatapan mereka menghilang dibalik pintu kamar. Aku menghela napas, melemparkan handuk sembarang. Telingaku mendengar Mama dan Ayah yang sedang berdebat, tapi aku memutuskan tidak ingin tahu. Karena sudah pasti yang menjadi topik utama adalah aku.

Aku mengambil ponsel yang tergeletak dikasur, tertutup oleh baju kotor yang tadi pagi masih aku pakai. Beberapa kali memencet tombol, ponselku tidak meyala. Baterainya habis. Aku mendengus, melemparkan kembali dengan sembarang di atas kasur.

Suara-suara gaduh diluar berehenti. Selama beberapa menit hening, kemudian terdengar suara ketukan ringan di pintu kamar.

"Aku mau tidur, Ma!" Seruku, menutup wajah dengan bantal.

"Ini ada Thalia, Nak." Mama menyahut.

Reflek tubuhku duduk tegak. Untuk apa Thalia ke rumah? Memangnya dia sudah tahu darimana kalau aku sudah pulang, ponselku juga mati? Aku mengusap wajah, menggeleng kepala. Sudah pasti Thalia bertanya ke Mama.

Aku membuka pintu kamar. Thalia menatapku, ia sedang duduk di sofa bersama Ayah. Berbeda dengan penampilan Thalia yang rapi, aku persis gembel di jalanan. Hanya saja pakaianku tidak ada sobek dan berlubang. Rambut acak-acakan sudah sangat mendukung penampilanku untuk mengemis di lampu merah.

Just a DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang