Tinta Hati

17 5 0
                                    

Semoga setelah baca part ini sampe akhir gada yang hujat saia😫 ada sedikit adegan yg tidak bermoralnya, aku harap yg baca umur di bawah 18 skip yakk😶

Happy reading!

==========

Siang yang terik, dimana orang-orang lebih memilih menetap di kamar dengan pendingin ruangan sambil tidur-tiduran. Aku pun sama, ingin seperti mereka. Tapi sayang, keharusan ini membuatku terpaksa keluar sarang. Bahkan pendingin mobil saja kalah dengan panasnya bumi. Kaus yang aku pakai bahkan tetap basah.

Aku menghentikan laju mobil tepat di depan rumah kawanku. Siapa lagi kalau bukan Arya?

Masuk ke dalam rumah, tidak ada siapa-siapa di ruang depan. Maka aku langsung menaiki satu persatu anak tangga menuju kamar Arya. Ketika aku membuka pintu, sang pemilik kamar sedang tidur mengenakan kaus dan kolor pendek.

"Bangun!" Aku melempar bantal di wajah Arya.

"Apa, sih!? Ganggu banget," Arya bangun, mendecak kesal.

Aku tertawa melihat Arya melotot, duduk di tepi ranjang.

"Aku mau ambil buku inkheart."

"Terus kenapa malah ke sini?" Arya bertanya dengan ketus, rupanya masih kesal gara-gara tadi.

Aku menggeleng, "Justru aku ke sini supaya ada temannya ke sana."

Arya mengusap wajah, "Sekarang ini sedang terik-teriknya, Rey. Panas!"

"Laki-laki macam apa takut panas," aku bergumam, lagi pula nanti perginya pakai mobil Ayah. Kenapa harus repot takut terbakar sinar matahari? Toh, kulit Arya memang sudah hitam.

"Memangnya kemana?" Arya bertanya.

Aku menjawab lokasinya, sekaligus menunjukkan layar ponselku menunjukkan lokasi akuratnya pada Arya.

"Ini lumayan jauh, satu setengah jam perjalanan. Letaknya di pinggir kota, berarti berbatasan dengan kabupaten terdekat." Arya berujar pelan. "Kamu duluan saja, nanti aku menyusul." Arya kembali beringsut di atas kasurnya, bersiap menutup mata.

"Heh! Apa-apaan?" Aku tidak terima, "Sudah diajak pakai mobil supaya tidak kepanasan, malah nyusul?" Astaga! Bagaimana jalan pikiran anak manusia satu ini?

Arya melambaikan tangan, "Terserah, yang penting aku menyusul. Cepat share lokasinya."

Apa-apaan anak ini? Sekarang dia memerintahku?

"Hei! Bagaimana mau menyusul kalau kamu malah tidur? Jam berapa kamu sampai nanti?"

"Tenang, tidak akan terlambat." Arya berucap santai.

Aku mendengus, meninggalkan Arya dengan perasaan kesal.

Mobil melaju mengikuti arah yang di berikan GPS. Sudah lima belas menit perjalanan, semakin ke sini jalanan semakin lengang. Bangunan-bangunan yang menjulang tinggi diganti dengan ruko-ruko pinggir jalan. Pengguna motor lebih dominan daripada mereka yang membawa mobil. Juga lebih banyak lagi pepohonan yang terlihat.

Aku menghela napas pelan. Perjalananku sekarang untuk mengambil novel Inkheart. Kado untuk Thalia masih belum lengkap karena kurangnya Tintenherz, novel pertama Inkheart. Justru novel pertamanya yang sangat susah dicari. Bahkan buku bajakannya saja susah di dapat. Beberapa hari sebelum mengadakan pesta kecil untuk Thalia, aku mendapat informasi soal novel yang satu ini. Tapi sayang, sang pemilik sedang berada di luar kota.

Tidak, ini bukan novel bekas. Novelnya memang koleksi pribadi sang pemilik, tapi dia belum membacanya, bahkan masih tersegel novelnya. Dia hanya senang mengumpulkan novel, tapi tidak ada waktu untuk membacanya.

Just a DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang