Hadiah

7 4 0
                                    

Happy reading! <3

==========

Aku menatap bintang dari jendela apartemen, mereka tampak terlihat jelas dengan bulan sempurna bulat. Malam ini terhitung sebulan sudah sejak acara makan malam yang tidak disengaja malah bertemu dengan Thalia dan Arya. Itu berarti dalam waktu 2 bulan lagi, acara pernikahan itu akan dilaksanakan.

Belakangan, Lia sering sekali mengoceh setiap kali makan siang. Dia bilang, aku akhir-akhir ini sering melamun dan tidak pernah menghabiskan makanan dengan benar. Tapi kemudian, ia menyuruhku untuk menghabiskan makanan atau memotong gaji. Itu yang selalu dia lakukan agar berhasil memaksaku makan.

Selama sebulan ini pula, aku sering memikirkan untuk mempertimbangkan apakah aku akan datang ke acara itu. Tapi jika aku datang, apakah aku kuat melihatnya. Bahkan saat acara tunangan mereka saja, rasanya kepalaku sudah mau pecah karena aku tidak bisa menahan gejolak itu. Tembok yang sudah aku bangun bertahun-tahun, tetap saja belum kokoh ketika aku harus bertemu lagi dengan mereka. Hanya ketika aku sedang fokus menjalankan pelatihan saja aku bisa melupakan mereka. Tapi tidak lama, karena pelatihan dilakukan hanya dua kali dalam seminggu. Ketika malam datang, hal seperti ini terus terjadi. Aku menatap langit lewat jendela kamar apartemen sambil bertanya-tanya, apakah mereka sudah mendapatkan tanggal? Tanggal berapakah mereka akan menikah? Apakah Thalia lebih bahagia bersama Arya daripada saat bersamaku?

Pukul sebelas malam, aku memaksa mataku terpejam, menutupnya dengan bantal. Jika tidak segera tidur, aku bisa bangun kesiangan dan Lia akan memarahiku sepanjang siang.

Besok pagi aku hampir saja telat. Aku bangun kesiangan, sampai akhirnya aku tidak mandi agar tidak terjebak macet di jalanan. Aku sampai di kantor pukul tujuh lebih lima menit. Lia yang duduk di kursi mejaku sudah menatapku dengan garang.

"Telat lagi, Rey?"

Aku hanya bisa nyengir, menggaruk kepala.

"Aku benar-benar bisa mengajukan pada bos agar dia memotong gaji kamu, loh." Dia memulai lagi dengan ancaman.

"Maaf, Lia. Lagipula kamu tahu seberapa macet jalanan di kota ini."

Lia tampak jengkel, berdiri. Ia menunjuk pada tumpukkan naskah yang di kirimkan oleh para penulis yang berharap lolos agar bisa diterbitkan. "Segera kerjakan."

Aku duduk di kursi yang baru saja ditinggalkan Lia. Memulai pekerjaanku dengan membaca naskah paling bawah dan menyuntingnya, apakah nanti akan lulus dan naskahnya layak diterbitkan atau tidak. Ini pekerjaan yang menyenangkan. Seperti dalam beberapa kasus, ketika seorang penulis terkenal telah mengirimkan naskahnya sebelum di terbitkan. Keuntunganku adalah aku bisa mengetahui lebih dulu isinya sebelum khalayak ramai menyerbu buku-bukunya setelah terbit.

Sudah lima jam aku bekerja, Lia datang keruanganku, mengajak keluar untuk makan siang. Dia bilang bosan makan makanan di kantin kantor.

Aku hanya pasrah, meninggalkan sejenak cerita yang sedang aku baca. Kami berjalan kaki keluar dari kantor, masuk ke sebuah gang yang tidak jauh dari sana. Di jalan itu memang menjadi kawasan kuliner. Apalagi kalau sudah sore menjelang malam, kendaraan tidak ada yang bisa masuk ke dalam sini saking ramainya.

"Kita mau makan apa, Lia?"

"Aku kepingin makan soto." Jawab Lia.

Just a DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang