Supermarket

17 8 0
                                    

Wajah itu jatuh dibahuku, Thalia tertidur pulas. Debaran itu kembali datang, lebih kuat dari kemarin-marin. Sebelumnya aku sudah membentengi diri agar tidak berdebar, tapi Thalia justru jatuh tertidur di bahuku. Aku mencium rambutnya yang wangi, semacam wangi stroberi. Sudah sedewasa ini, samponya seperti wangi sampo anak kecil saja.

Bus bergoyang, habis melindas polisi tidur. Tubuh Thalia yang tertidur hampir saja terantuk kursi di depannya. Dengan cepat tanganku memeluknya dari samping, mencegah tubuhnya berbenturan dengan kursi. Kepalanya aku letakkan kembali dibahuku, hanya saja tanganku memeluk pundaknya dari samping, mencegah kejadian tadi terulang jika bus melewati polisi tidur.

Debaran itu terus semakin kencang sejak aku memeluk tubuh Thalia, tapi sayangnya jika aku melepasnya aku takut Thalia akan terbentur. Dengan terus memeluk tubuh Thalia dari samping, aku berusaha menarik napas dalam-dalam dan mengeluarkannya dengan perlahan. Semoga itu membantu untuk menghilangkan debaran itu.

Bus akhirnya berhenti tepat di depan halte pemberhentianku. Aku segera melepas pelukan, agar jika Thalia bangun ia tidak akan menuduhku yang tidak-tidak. Ku tepuk pelan bahunya, membangunkan ia. Matanya mengerjap begitu bangun, "kita sudah sampai?"

Aku mengangguk, "ayo turun."

Setelah membayar ongkos kepada kernek bus, aku menuntun Thalia turun dari bus. Ia masih tampak belum sadar sepenuhnya, aku takut jika dia nanti justru terjatuh saat turun dari bus karna juga banyak orang yang hendak turun dan berdesak-desakkan.

Thalia menguap lebar, menutup mulutnya dengan tangan kanan. "Aku terlalu lelah sampai aku tertidur didalam bus," katanya kemudian sambil tertawa.

Kami berjalan bersisian.

"Terimakasih sudah memelukku," kata Thalia tanpa menoleh ke arahku.

Apa? Dia tahu aku memeluknya tadi? Oh, tidak! Apa dia akan marah karena aku sudah lancang memeluknya?

Thalia tertawa, memperhatikan ekspresiku. "Aku tidak marah. Kalau kamu tidak segera memelukku tadi, mungkin aku sudah mendapat benjolan besar di jidatku. Itu sangat membuat tampilanku berantakan nanti."

Aku menelan ludah, bergumam lirih. "Maaf, aku tidak melakukan itu karena sengaja, kok."

"Aku bilang aku tidak marah," Thalia berjalan ringan, setengah meloncat seperti anak kecil saja. "Tapi kalau kamu melakukannya tanpa alasan, siap-siap aku pukul!"

Aku mengangguk pelan. Kalau tadi ketika Thalia tertidur dia tahu aku memeluknya, kenapa dia tidak bangun saja? Cukup lama aku tadi memeluknya. Kalau dia sudah sadar, kenapa dia justru diam dan menerima pelukanku?

Disepanjang jalan, aku berjalan dalam diam, disampingku Thalia berjalan tertunduk. Wajahnya tertutupi oleh rambut panjangnya yang tergerai. Tapi siapa yang tahu di balik rambutnya itu Thalia sedang senyum-senyum sendiri.

"Kita berpisah disini," aku menghentikan langkahku.

Thalia mengangkat kepalanya, menoleh.

Kami sudah berada di perempatan jalan. Dari sini, arah rumahku dan rumah Thalia berbeda. Jika Thalia berbelok kekanan, maka aku lurus.

"Sampai nanti," Thalia berjalan ke kanan, melambaikan tangan.

Aku balas melambai, menatap punggungnya yang mulai menjauh sesaat kemudian aku menyebrang jalan. Sampai di komplek perumahan, aku tidak langsung pulang ke rumah. Rumah Arya adalah tujuanku saat ini.

Sampai dirumah Arya, rumah berwarna hijau tanpa gerbang yang memagari dan banyak jenis tanaman tumbuh dihalamannya. Aku langsung mengucap salam tiba di depan pintu yang terbiasa terbuka jika ada orang di dalam. Seseorang anak kecil, perempuan, menghampiriku. Dia menyuruhku masuk sambil berteriak.

Just a DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang