"Iya kan? Yang di Adelia Collection juga bagus sih, tapi harganya gak ngotak buat gue. Mending di itu sih, Kansha Store, aku juga kemarin beliin mertua daster di sana," tutur Dila, perempuan 26 tahun yang sekarang telah dikaruniai dua anak laki-laki.
"Hm, gue jadi kepikiran buat ngerintis usaha jual daster gitu, kali aja kan suami gue mau modalin, hahaha!" Karin terbahak, tangannya yang gemulai bergerak mencubit pipi Dhey dengan gemas, kebiasaan perempuan itu.
"Ish, Rin! Lo bisa gak sih ketawa gak nyubit-nyubit!" Kesal Dhey, berpindah tempat di sebelah Dinar yang tengah sibuk memainkan ponselnya.
Di tengah acara seperti ini, Dinar tidak tahu mau bagaimana. Obrolan teman-temannya tidak akan jauh-jauh dari urusan rumah tangga, sementara dirinya yang sampai detik ini masih melajang tak paham apa-apa dan kadang merasa tak nyambung. Berbeda semasa dulu ketika mereka semua masih belum menikah. Bukannya Dinar iri, melainkan lebih kepada sulit menyesuaikan. Toh ujung-ujungnya ia akan jadi pendengar yang baik kalau-kalau ada yang curhat masalah keluarganya.
Sepulang dari kantor tadi, Dinar mampir ke rumah Dila untuk memenuhi undangan perempuan itu yang mengadakan acara makan bersama di rumah dalam rangka menyambut berita bahagia karena perusahaan suaminya, Segan, menang tender lagi. Dinar juga sudah lama tidak berkumpul bersama teman-temannya itu.
"Eh anak lo siapa yang jagain, Rin?" Tanya Dila.
Karin si wanita aktif yang baru tiga minggu lalu melahirkan anak pertamanya itu menjawab, "ada mbak yang jagain,"
"Oh, berarti lo gak boleh lama-lama berarti? Anak lo kan masih nyusu," tanya Dhey yang langsung dibalas pelototan oleh Karin.
"Lo ngusir gue apa gimana nih, Dhe?" Sungut Karin.
"Lha! Enggak, gue kan nanya Ibuk. Sensi amat, kek lagi hamil aja. Atau jangan-jangan lo udah hamil lagi?!" Seru Dhey.
Karin mendelik, sementara Dila terbahak. Yang benar saja, pikir Karin.
Perdebatan kecil mereka teralihkan dengan kedatangan Segan bersama seorang teman lelakinya.
"Din! Ada yang mau kenalan nih, temen gue!" Ujar Segan blak-blakkan, berbeda dengan teman di sebelahnya yang tampak serius sekali.
Dinar mengangkat wajahnya yang semula menunduk bermain ponsel. Alisnya menaut, bingung.
"Kenalin, Din. Ini temen gue, P--
"Pram," sambar pria itu tiba-tiba, memperkenalkan diri.
Dinar melirik orang-orang di sekelilingnya yang juga tengah memusatkan perhatian padanya. Ia hanya mengangguk kecil, menciut di bawah tatapan serius Pram. "Dinar," ujarnya pelan.
"Ciee, malu-malu kucing nih si Dinar. Biasanya juga bar-bar!" Serbu Karin tak tahan. "Tenang, Mas. Kalau mau seriusin teman saya, saya dukung pol. Dia doang nih yang belum laku, Mas. Hahaha!" Karin tergelak, mengundang tawa teman-temannya yang lain.
"Nah, Mas Pram dengar sendiri kan? Masih single!" Segan memainkan alisnya menggoda temannya seraya menunjuk Dinar yang menunduk malu bercampur tak nyaman.
Dengan tenang Pram memasukkan kedua tangannya ke saku celana, tersenyum ringkas tanpa mengatakan apa pun.
Namun siapa yang menyangka, perkenalan singkat, padat, dan jelas itu adalah awal dari perjalanan panjang Dinar mengarungi dunia percintaan, menyusul tiga sahabatnya ke jenjang pernikahan?
***
"Kamu jangan nyetok mie terus, Dinar. Gimana berat badan kamu mau ideal kalau makannya mie instan terus," Dumel Arumi, Maminya Dinar. Dinar sampai sudah hafal dengan perkataan maminya, lantaran itu terus yang diulangi kalau menghubungi sang putri yang merantau jauh di Ibu Kota.
KAMU SEDANG MEMBACA
DINAR BINTI DIRHAM (TAMAT LENGKAP)
RomanceDinar tahu Pram adalah pria yang baik. Tapi predikat baik saja tidak cukup untuk membangun sebuah kehidupan rumah tangga bersama sampai menua. *** Ada dua hal yang Dinar benci di dunia ini. Anak-anak dan pernikahan. Ditinggal pergi oleh Papi dari...