Bab 10| Nyonya Pramudya

14.6K 1.7K 106
                                    

Pram mengendarai Pajero Sport miliknya dengan kecepatan lambat. Memasuki Ibu Kota, hujan deras tiba-tiba turun. Jalan yang tadinya macet kini semakin parah, suara klakson saling bersahut-sahutan satu sama lain. 

Pram menghela napas, mencoba bersabar. Sementara di sebelahnya, Dinar sudah bergelung nyaman dalam selimut tebal, memperhatikan jalan yang ramai dan bising dengan meminum susu kotak.

Melihat istrinya itu membuat Pram semakin tentram. Tidak apa terjebak macet berjam-jam, asalkan ditemani Dinar di dalam mobil.

Pram melirik kresek Indomaret yang tadi penuh dengan camilan-camilan dan minuman yang kini tersisa kulitnya saja. 

Dinar membuka bungkusan snack terakhir, menggigit roti coklatnya, entah kenapa rasanya berlipat-lipat lebih enak dari biasanya. "Kenapa? Mau?" Dinar merasa diperhatikan lantas menatap suaminya penuh tanya.

"Iya," jawab Pram.

Dinar lantas menunduk, mengaduk kresek tadi yang isinya sampah kemasan botol dan makanan ringan saja. "Tapi, sudah habis, Mas," 

Pram terkekeh, "lapar, ya?"

"Enggak juga. Pengen ngemil aja," Dinar menyodorkan roti yang sudah ia gigit, "makan bekasku gak apa-apa, kan?"

Pram tentu saja tidak menolak, langsung melahap sisa roti dari tangan istrinya itu sampai mulutnya penuh. "Air,"

Dinar mendengus, membuka botol air mineral dan disodorkan ke mulut Pram. 

"Mas," Panggil Dinar sedikit antusias saat mobil sudah mulai bergerak walau baru beberapa meter berhenti lagi.

"Hm?"

"Di depan ada restoran kebabnya Mas Bagas. Aku mau beli," ujar Dinar.

"Engh," Pram mengusap tengkuknya, "iya, tapi delivery aja bisa, kan?" 

Pram tidak yakin bisa meminggirkan mobilnya di tengah kemacetan ini. Apalagi meninggalkan mobilnya di tengah jalan demi membeli kebab. Bukannya Pram tidak ingin membelikan istri, melainkan ia khawatir meninggalkan mobil dan tiba-tiba mobil di depan maju lalu mobil di belakang marah-marah karena mobil Pram tidak maju-maju, lalu kalau supir di belakang memarahi Dinar seorang diri di dalam mobil kan tidak lucu. Apalagi perempuan itu belum berani membawa mobil.

Dinar mencebik, tidak mengatakan apapun melainkan langsung membuang muka ke arah jendela di sebelahnya.

"Ini macet, kalau saya tinggalkan mobilnya, bahaya," Pram menjelaskan kegelisahannya.

Dinar tidak menggubris. Dalam diri sudah tersungut, tiba-tiba teringat pesan mantan istrinya Pram kemarin yang menjengkelkan sekali kalau diingat-ingat. Untuk apa Pram mengirimkan uang perempuan yang sudah bukan tanggung jawabnya lagi?

Segitu perhatiannya kah Pram dengan mantan istrinya itu ketimbang membelikan Dinar kebab yang jaraknya tidak jauh itu?

Dinar menahan napas yang tiba-tiba sesak, mulai mengungkit-ungkit mantan Pram dalam hati untuk menyulut emosinya agar ia terpancing mengorek masalah itu.

Hanya perkara kebab, malah melebar kemana-mana.

Pram mendesah pasrah, "yasudah. Kamu tunggu di sini," kata pria itu pada akhirnya. Tubuhnya bergerak ke belakang mengambil payung sebelum bersiap keluar dari mobil. 

Dinar melihat kepergian suaminya dengan kesal. Nanti kalau sudah merajuk baru dituruti, dumelnya dalam hati.

Waktu berlalu begitu lama, Dinar sampai mati kebosanan dalam mobil, berkali-kali memantau sang suami namun tak kunjung keluar dari resto berlogo kuning itu. Tak sengaja Dinar melihat ponsel Pram di atas dashboard mobil, tergeletak begitu saja sedari tadi.

DINAR BINTI DIRHAM (TAMAT LENGKAP)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang