"Aduh, sayang! Perut bunda kok dipukul?" Dinar hampir menangis, mengadu pada Pram karena putranya nakal. Di usia Akhtar yang mulai menginjak delapan belas bulan, anak itu sudah mulai diajarkan bahwa di perut bundanya ada adik bayi yang akan menjadi adik Akhtar. Pram yang selalu mengajarkan itu pada putranya.
Entah karena Dinar yang selalu menggoda Akhtar bahwasanya asinya nanti akan diembat sang adik, atau karena Akhtar sendiri tak ingin ada adik sampai selalu memukul perut bundanya.
"Aduh, jagoan Ayah gak boleh nakal," Pram menggelitik leher Akhtar dengan brewoknya hingga anak itu tertawa kegelian.
"Nih, Ayah bawa bawa apa," Pram mendorong box besar masuk ke dalam kamar yang tak lain isinya mobil mini yang bisa berjalan untuk Akhtar seorang. Pram sudah lama ingin membelinya, tetapi mencarikan sang putra model yang tidak ada samanya. Kebetulan ia memiliki kenalan jasa titip barang import dan Pram menemukan mobil mainan incarannya itu dengan model limited edition keluaran salah satu perusahaan di eropa yang dikolaborasikan dengan brand fashion ternama.
Tadinya meringis, Dinar tiba-tiba bangkit menyaksikan dengan seksama. "Lho! Ini kamu beli, Mas?" Tanya Dinar tak percaya.
Pram mengangguk. "Akhirnya kebeli ya, Bun," Pram tersenyum bahagia. Tanpa melepas sepatunya, pria yang baru beberapa menit yang lalu pulang dari kota itu kemudian berjongkok membuka lapisan pengaman mobil selama pengiriman.
Akhtar meloncat kegirangan, mulai memanjat di atas kardus besar kokoh yang bahkan isinya belum dibuka.
"Biasanya kalau beli yang lokal gak ribet begini sih, Bun. Diantarkan langsung gak pakai kardus segala," Pram mengoceh.
"Hanya buat mainan begini kamu ngantri jastip, Mas?" Dinar menyipitkan mata, iri dengan anak sendiri.
Pram terkekeh, ia tahu ini tak penting selain untuk menyenangkan putranya. Tapi Pram merasa ia ikut bahagia dan bangga bisa memberikan yang terbaik untuk Akhtar. Apalagi ia sekarang sering bergabung dengan kolega bisnisnya yang juga memiliki anak-anak lanang. Betapa menyenangkannya mendengar cerita mereka tentang mainan anak. Pram tergugah ingin sedikit memanjakan Akhtar.
"Nanti," Pram menggantung ucapannya, menghampiri Dinar dan berlutut memberi kecupan sayang pada si calon bayi yang tidak lama lagi menyandang nama Pramudya di belakangnya. "Kalau putri Ayah yang ini sudah lahir, Ayah akan belanjakan mainan yang bagus kayak Masnya. Pokoknya, sehat-sehat ya, putrinya Ayah," satu kecupan lama lagi-lagi hinggap di perut Dinar.
"Anaknya mulu, istrinya gak dibelanjain," Dinar mencebik.
"Mau apa to, Nduk? Suamimu ini kan kemarin menawarkan," Pram menggamit tangan Dinar mengajaknya duduk menemaninya membongkar mobil-mobilan Akhtar.
"Mau kamu, Mas," Dinar tidak bercanda, ia memang sekarang sangat menginginkan belaian suaminya. Entahlah, mungkin hormon kehamilan.
Pram mengerjap, "masih siang, Bun. Nanti malam ya,"
"Aku gak pernah mintak lho, Mas," Dinar cemberut.
"Tapi Akhtar masih hidup," Pram menunjuk anaknya yang sangat antusias sedari tadi.
"Dititipkan ke Sila kan bisa, Mas," Dinar sekarang merengek manja.
"Tunggu ini selesai dibongkar dulu ya, biar Akhtar sekalian main," Pram berjanji, tapi nyatanya pria itu memakan waktu yang sangat lama. Setelah mobil-mobilan Akhtar siap digunakan, Pria itu tak juga kunjung beranjak melainkan malah menemani Akhtar bermain.
Dinar masuk ke kamar kecil kemudian mandi, hajatnya sudah menguap entah kemana digantikan dengan rasa merana dimana-mana. Ia malu sempat meminta pada Pram dan ternyata pria itu lama sekali sampai terlupa akan istrinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
DINAR BINTI DIRHAM (TAMAT LENGKAP)
RomanceDinar tahu Pram adalah pria yang baik. Tapi predikat baik saja tidak cukup untuk membangun sebuah kehidupan rumah tangga bersama sampai menua. *** Ada dua hal yang Dinar benci di dunia ini. Anak-anak dan pernikahan. Ditinggal pergi oleh Papi dari...