"Ini buat Sila?" Tanya Sila begitu senang diberikan tab baru dari Bundanya. Selama ini Sila tidak dibolehkan bermain gadget oleh Pram mengingat pengaruh negatifnya lebih dominan untuk anak seusia Sila ketimbang pengaruh positifnya.
"Tapi jangan dilihatin sama Ayah dulu, ya. Nanti lama-lama ketahuan sendiri, Bunda belinya diam-diam soalnya," Dinar terkekeh di akhir kalimat. Sebenarnya ia kasihan dengan Sila. Pram memiliki banyak uang, tidak ada tanggungan, tapi giliran membelikan putrinya ponsel saja tidak ada. Ya meskipun ada alasan di balik itu juga.
Dinar mengambil jatah cutinya di bulan depan untuk menambah cuti nikahan karena besok Dinar dan Pram akan ke kota berbelanja barang rumah tangga untuk mengisi apartemen, beruntunglah atasannya mengerti dan masih mentoleransinya.
Kebetulan kemarin Dinar diantarkan ke gerai ponsel untuk membeli Tempered Glass. Semenjak selesai di-service, Dinar memang belum sempat membelikan Screen Guard yang baru karena direpotkan dengan urusan pernikahan sampai hal-hal kecil terasa tak penting.
Ketika membeli itulah ia teringat Sila yang beberapa hari belakangan melengket dengannya apalagi ketika tahu ponsel Dinar adalah ponsel keluaran terbaru yang harganya puluhan juta. Bukan apa, Sila ingin main game dan melihat-lihat sosial media tentang lettering. Atas inisiatif itu, Dinar membelikan Sila gadget yang sudah dilengkapi stylus pen agar selain bisa melihat sosial media, Sila juga bisa memanfaatkan untuk belajar, menggambar, dan lettering di sana. Harganya memang lebih mahal, gaji Dinar untuk dua bulan, tapi tak apalah. Biarkan Dinar yang meminta gantinya ke Pram.
"Makasih, Bunda. Sila seneng banget," Sila terharu, memeluk Dinar dengan penuh ucapan terimakasih.
"Hm, ya," seperti biasa, Dinar selalu kaku dengan anak-anak.
"Nanti kalau Ayah tanya ini punya siapa, Sila jawab apa?" Sila mulai berpikir. Bukannya mau berbohong, ia hanya bingung nanti kalau Ayahnya marah mengetahui ia memegang gadget.
"Bilang punya Bunda dikasih ke Sila,"
"Kalau Ayah marah, gimana Bun?"
Dinar mendengus. "Nanti Bunda marahin," ketusnya. Sila yang mendapat perlindungan akhirnya tidak bertanya-tanya lagi, langsung meminta izin untuk unboxing.
Sore harinya, Dinar mengemasi barang-barangnya ke dalam koper. Mereka memang sudah tidak tinggal lagi di rumah Ibu. Dinar hanya sering berkunjung setiap pagi dan malam bersama Pram untuk menjenguk beliau. Nanti malam mereka juga akan menginap di sana karena besok Dinar akan kembali ke kota bersama Pram.
Sila seharusnya mengikuti orang tuanya, namun karena Sila segitu lengketnya dengan Marini, sehingga Sila lebih memilih tinggal dengan neneknya.
"Kamu lihat cincin saya?" Tanya Pram. Pria itu memutari kasur dan menyusuri sepanjang lantai menuju kamar mandi namun tidak menemukan benda berharga itu.
"Cincin apa?" Dinar menoleh sekilas.
"Cincin nikah kita. Saya ingat semalam saya lepas di sini," Pram menunjuk meja di sebelah tempat tidur.
"Mungkin jatuh ke lantai,"
"Tidak ada, saya sudah cari sedari tadi,"
Dinar mendesah kasar, "harus gitu Mas, aku yang turun tangan?" Tanyanya sedikit kesal. Suaminya itu, setelah dipelajari, ternyata kalau mencari sesuatu susah, walau di depan mata tidak dilihat juga. Seperti kemarin ketika mencari jam tangannya. Padahal jam itu masih ada di dalam lemari, sudah Pram bongkar berkali-kali tidak ketemu juga. Barulah saat Dinar yang membantu mencari, baru membuka lemari langsung ketemu.
Kadang Dinar berpikir, apa sih yang ada di kepala para lelaki kalau sedang mencari sesuatu?
"Mungkin sudah disapu," Dinar merunduk mengarahkan flashlight ke kolong ranjang barangkali jatuh di sana mengingat Pram kalau di tempat tidur terlalu banyak gaya.
KAMU SEDANG MEMBACA
DINAR BINTI DIRHAM (TAMAT LENGKAP)
RomansaDinar tahu Pram adalah pria yang baik. Tapi predikat baik saja tidak cukup untuk membangun sebuah kehidupan rumah tangga bersama sampai menua. *** Ada dua hal yang Dinar benci di dunia ini. Anak-anak dan pernikahan. Ditinggal pergi oleh Papi dari...