"Din, ini tuh kesempatan langka. Kapan lagi coba ada laki-laki yang mau seriusin lo kayak Mas Pram tanpa babibu gitu tiba-tiba ngelamar? Mau nunggu sampai kapan?" Dhey berusaha menasehati sahabatnya, ia menginginkan Dinar merasakan kebahagiaan dalam pernikahan, hubungan yang diridhoi.
"Bukan masalah itu, Dhey," Dinar menjepit anak rambutnya ke belakang telinga, melanjutkan mengemasi pakaian ke dalam koper. Cuti hari raya telah tiba, meski kali ini cutinya hanya tiga hari karena Idul Adha saja. Pakaian-pakaian Dinar yang sudah tidak terpakai juga ikut dikemasi, ia akan membagikan kepada sepupu-sepupunya karena kebanyakan dari pakaian itu baru sekali dua kali dipakainya dan ditinggalkan karena bosan. Dinar juga menyiapkan pakaian baru sebagai buah tangan untuk para sepupu , terutama karena ia tak punya saudara sehingga bingung mau berbagi kepada siapa.
"Ya terus? Lo nunggu banyak uang dulu? Mau beralasan masih nabung? Duh, udah deh, Din. Manusia itu kalau kerja, mau hartanya segunungpun rasanya gak cukup terus. Kalau lo jadiin itu sebagai patokan, kapan berhentinya? Lagian Mas Pram itu kan orang yang berkecukupan, lo gak perlu lah pusing-pusing mikirin uang," Dhey terdengar mengambil napas. "Atau jangan-jangan kamu ngehindarin Mas Pram karena dia duda ya?" Tuduhnya.
Dinar lantas menghadap laptop di mana wajah Dhey tertera dengan jelas. Beberapa hari lalu ponselnya masuk kloset karena Dinar tidak sengaja menjatuhkan saat mengganti pembalut. Jadilah beberapa hari ini ia tidak bermain ponsel karena sedang diservis. Rencananya nanti sebelum ke stasiun akan mampir mengambil ponselnya yang sudah bagus lagi ke salah satu gerai handphone dan menghubungi maminya untuk memberitahu berita kepulangannya hari ini.
"Dhey, ini gak ada hubungannya sama sekali dengan apa yang lo sebutin itu. Gue emang belum ada niat nikah aja, udah. Lagian beliau juga udah gak pernah ngehubungin gue sama sekali," pungkas Dinar.
Berita ini sebenarnya sudah basi untuk dibahas. Awal mulanya dari Segan dan Dila, tempat Dinar pertama kali bercerita persoalan tempo hari itu. Lama kelamaan, tercium juga oleh Karin dan Dhey. Mereka sangat menyayangkan Dinar yang secara tak langsung menolak lamaran Pram waktu itu. Bahkan, sampai sekarang lelaki itu tak ada kabarnya. Dinar tak memutus kontak sama sekali, namun ia juga tak berusaha ingin mengetahui.
Ini terlalu berat untuk dipahami oleh orang yang tidak mengerti tentangnya, termasuk Pram. Hal yang selalu Dinar takutkan kalau berkenalan dengan lelaki, apalagi kalau ada yang sampai berniat serius dengannya.
Dinar hanya belum siap saja.
"Terus, selama ini lo pada sering bareng itu emang lo gak ada rasa, gitu? Mas Pram kelihatannya tulus, tahu Din. Lo masa gak ada mempertimbangkan?" Dhey kembali melanjutkan.
Dinar terdiam, tidak memberikan tanggapan yang berarti. Memang dia harus menjawab apa?
Dia ada rasa, begitu?
Apakah itu penting? Tidak, kan?
"Dhey, udah dulu ya. Gue mau mandi nih. Habis ini mau buru-buru ngambil hp dan langsung ke stasiun," pamit Dinar, segera mengakhiri panggilan video itu.
Dinar menghela napas, menghempaskan tubuhnya di atas kasur empuk. Mungkin ini hari terakhir ia berada di kost ini, karena sepulang mudik nanti, ia akan menyuruh orang mengangkut barang-barangnya ke rumah yang ia kontrak bersama Nia, teman kantornya.
Dinar bergegas mandi, menyiapkan diri dan memastikan tidak ada yang tertinggal untuk dibawa pulang.
Termasuk sepotong hati berpenghuni yang memohon untuk ikut dibawa pulang kepada rumah yang susungguhnya.
***
"Di sini benar, Mbak?" Tanya sopir taksi, menghentikan mobilnya tepat di depan sebuah rumah besar yang kini tampak ramai, beberapa mobil asing terparkir di depannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
DINAR BINTI DIRHAM (TAMAT LENGKAP)
RomansaDinar tahu Pram adalah pria yang baik. Tapi predikat baik saja tidak cukup untuk membangun sebuah kehidupan rumah tangga bersama sampai menua. *** Ada dua hal yang Dinar benci di dunia ini. Anak-anak dan pernikahan. Ditinggal pergi oleh Papi dari...