"Emang ya kalau anak juragan parfume tuh begini, nih. Dari radar sepuluh meter aja gue udah bisa nyium wanginya Caron Poivre! Sangat menyentil jiwa-jiwa miskinku," kehadiran Karin di apartemen Dinar dengan embel-embel menjenguk si kecil Akhtar nyatanya menyapu bersih semua ketenangan, membawa asap kelabu demi menyebarkan keributan. Suara pekikan wanita itu jelas tak bisa diabaikan. Dinar bahkan baru tidur setengah jam ketika ia harus terbangun karena keberadaan Karin.
"Lo kok datang gak bawa apa-apa, Rin?" Dinar berujar sewot, memperbaiki posisi duduknya.
"Diem lo! Gue kesini tuh bawa paper bag kosong, berharap pulangnya dikantongin Jean Patou. Hihiwww," Karin menjentikkan jari, idenya tak sia-sia karena si doi ternyata sudah terpampang rapi di meja rias si nyonya rumah.
"Sinting lo," Dinar bergidik. Mau setahun atau sepuluh tahun atau berabad-abad pun tidak bertemu dengan Karin, wanita itu tetap tidak akan membiarkan suasana canggung meliputi area kekuasaannya. Masih tetap cerewet dengan tingkat halusinasi setinggi menara Dubai.
"Halo Akhtar!" Karin mendekat, menyapa si kecil yang baru berusia dua hari waktu dunia. "Ya Tuhan! Ganteng banget! Kok muka lo kagak ada miripnya sama dia?" Karin memindai wajah Dinar dan Akhtar, mencari satu saja persamaan yang ada.
"Bahaya, ni anak mirip banget sama ayahnya. Hati-hati lho, Din," Karin agak terlihat serius.
Mendengus, Dinar menampar lengan sahabatnya itu. "Lo hidup di jaman modern, tiap hari main ponsel, apa-apa serba onlen. Kok bisa sih pikiran lo masih purbakala?" Serobot Dinar begitu kejam. Ia paham maksud Karin, dan kalimat seperti itu sudah terulang beberapa kali di telinga Dinar sejak dulu. Namanya terlalu berat lah, wajahnya terlalu mirip lah, apa lah. Zaman berubah tapi tidak dengan pola pikir masyarakat yang kadang masih terlalu tertinggal.
"Ih lo kejam banget ngatain gua purba kala. Gue hanya mengatakan apa yang sering dikatakan oleh orang-orang di kampung gue!" Karin melempar cengiran, tidak bermaksud menyinggung. Tapi kalau boleh jujur, Akhtar memang tidak mengambil sedikit pun bagian dari wajah Bundanya.
"Iya, enak sih lo ngomong sama gue yang agak kalem. Kalo lo dapet ibu-ibu emosian, udah dijambak kali lo, Rin! Anak baru lahir udah diduga yang enggak-enggak, sakit hatilah ibunya!" Dumel Dinar. Ia tahu memutar bola mata adalah tindakan tak sopan. Tapi dengan Karin, Dinar tak kuasa untuk tidak melakukannya. "Anak-anak yang lain mana? Gak dateng?"
"Gak tau. Tadi gue disuruh mandi, tungguin Dila jemput depan rumah, tapi gak dateng-dateng. Yaudah, gue pergi sendiri," beber Karin. "Ih gembul banget dia," imbuh wanita itu, membersihkan tangan dengan tisu basah sebelum mulai meremas tangan mungil baby Akhtar.
"Dhey?" Tanya Dinar lagi.
Karin menghela napas. Bahunya berubah lesu. "Dhey gak tau, sih. Lagi bermasalah dia, suaminya ketangkep polisi, katanya masuk jaringan pengedar gitu. Gue gak ngertilah, intinya gitu sih. Pokoknya dia lagi punya masalah berat,"
Dinar terkejut tentu saja. Ia tak tahu-menahu persoalan itu karena selama ini ia jarang berkomunikasi langsung dengan para sahabatnya.
"Kok gak ada yang cerita ke gue, Rin?" Dinar memberengut, merasa tak berguna menjadi teman Dhey.
"Lha, kita aja taunya dari orang lain. Desas-desus gitu. Dhey gak pernah cerita, bahkan sampe sekarang dia agak ngejaga jarak gitu. Gue khawatir banget sih sebenarnya, tapi dia rada kurang ajar juga. Terakhir gue telpon malah dimarahin. Ya gue marahin balik," terang Karin seperti manusia pendosa lainnya yang kadang lupa akan kelakuan diri sendiri.
"Kok gitu sih lo? Terus sekarang gimana?" Dinar jadi terpikir masa-masa sulit tanpa suami. Kasihan sekali Dhey. Perempuan yang terbiasa tegar, dipaksa untuk duduk dan seatap dengan masalah.
KAMU SEDANG MEMBACA
DINAR BINTI DIRHAM (TAMAT LENGKAP)
RomanceDinar tahu Pram adalah pria yang baik. Tapi predikat baik saja tidak cukup untuk membangun sebuah kehidupan rumah tangga bersama sampai menua. *** Ada dua hal yang Dinar benci di dunia ini. Anak-anak dan pernikahan. Ditinggal pergi oleh Papi dari...