Bab 26| Bersalaman Dengan Masa Lalu

12.3K 1.5K 75
                                    

Dinar terbaring lemas. Ketubannya ternyata pecah. Dinar tak tahu persis bagaimana detail kejadiannya, yang jelas sekarang ia sudah tak sanggup lagi menerima asupan yang dapat menambah energinya untuk berjuang di atas meja bersalin nantinya. Ia selalu tegang ketika seseorang berpakaian perawat mengecek area kemaluannya kemudian mengatakan sesuatu kepada Pram yang artinya mereka masih perlu menunggu untuk bertemu si kecil yang sudah tak sabar menyapa kedua orang tuanya.

Dinar tak henti-hentinya meremas tangan Pram, sementara pria itu membacakan ayat suci untuk menyejukkan hati Dinar dari segala prasangka buruk. Dinar tak tahu saja kalau sebenarnya Pram jauh lebih tegang darinya. Pria itu bahkan beberapa kali mengulangi ayat hafalannya karena mendadak lupa saking tegangnya menunggu waktu-waktu persalinan sang istri.

Pram tidak pernah merasakan hal sentimental semacam ini. Ini jelas berbeda ketika menyambut kelahiran Sila. Bentuk pengharapan dan penantian menyatu dalam gumpalan besar yang siap meledakkan jutaan kembang api. Pram sebentar lagi akan bertemu bayi kecilnya, anak yang lahir dari rahim wanita yang telah ia titipkan hatinya padanya, buah cintanya yang di setiap inci tubuhnya ada darah Pram yang mengalir.

"Mami masih lama gak ya, Mas?" Tanya Dinar. Setelah mengabari peristiwa bahagia ini kepada sang Mami, wanita setengah baya itu pun memutuskan untuk segera meluncur.

Meskipun Dinar terbiasa mandiri, tapi untuk situasi kali ini, ia tidak hanya membutuhkan suami, tapi juga sosok Mami yang bisa menguatkan Dinar di masa-masa berjuangnya.

"Mungkin udah gak lama, kamu sabar ya. Saya sudah suruh orang untuk jemput Mami kamu ke stasiun. Harusnya setengah jam lagi keretanya tiba," Pram menghapus peluh yang bercucuran di sekeliling wajah istrinya.

Dinar tidak dapat mencerna perkataan Pram karena gelombang kontraksi menghantamnya semakin sering. Perempuan itu merintih lirih, napasnya tertahan seiring bulir air matanya menetes menahan rasa sakit yang kian menyengat.

Pram tidak tahan, sungguh. Ia tak bisa melihat istrinya terus-terusan tersiksa.

Dinar terisak pelan, tangan yang dialiri infus menjalar ke atas perut, menggenggam tangan sang suami yang tengah mengusap sayang.

Tidak lama kemudian, perawat datang lagi untuk memeriksa kondisi janin Dinar. Hanya meninggalkan ruangan beberapa menit, wanita pendek itu kembali dengan membawa Dokter Nisa.

Pram bernapas lega ketika dokter mengatakan bahwa istrinya akan segera dipindahkan ke ruang bersalin. Pram dengan sabar mengikuti petunjuk dokter, termasuk menyiapkan pakaian bayi steril yang akan dibawa ke ruang bersalin.

Setelah semuanya beres, Pram mendekat ke sisi istrinya. Ada rasa berat untuk menyaksikan bagaimana Dinar berjuang melahirkan putra mereka. Ia hanya tak terbiasa melihat Dinar tersiksa.

Pram meninggalkan satu ciuman dalam untuk sang wanita. Pria itu mengusap kepala Dinar dengan pelan. "Sabar, sedikit lagi, hm?" Bisiknya.

Dinar mengangguk lemah.

Pram menghela, menunduk dan menyatukan kedua kening mereka, menciptakan suasana syahdu yang mengiringi ketegangan di masing-masing jiwa.

"Saya gak pernah bilang ini, karena saya rasa sudah terlalu tua untuk berbicara perkara ini," Pram memulai.

"Tapi, hari ini saya ingin kamu tahu kalau saya sangat-sangat jatuh hati dengan kamu, dari hari pertama kita ketemu di acara teman kamu, hari kamu menolak saya, hari di mana saya ketemu orang tua kamu, hari pernikahan kita, sampai hari ini saya menemani kamu menyambut buah hati kita, perasaan saya gak pernah berkurang sedikitpun untuk kamu, dan akan selalu bertambah bahkan di saat rambut kamu sudah tidak hitam legam lagi seperti sekarang," Pram tidak pernah semanis ini, tapi ia membiarkan dirinya mengungkapkan betapa ia sangat mencintai Dinar. Tidak terlalu terlambat untuk mengungkapkan isi hati. Dinar menyambut ungkapan cinta itu dengan tangis bahagia. Pram membuatnya jauh lebih tenang, jauh lebih kuat.

DINAR BINTI DIRHAM (TAMAT LENGKAP)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang