Dinar menangis ketakutan mendengar suara sirine mobil polisi melintas dan berhenti tepat di depan mobil yang ia kendarai. Setelah nyaris setengah jam menunggu, Dinar pupus harapan karena kondisi sudah begitu gelap.
Dadanya bergemuruh ketika kaca mobilnya diketuk dengan keras.
Siapa lagi itu! Tolong, Dinar tak mau berurusan dengan polisi, ia hanya butuh Pram. Bagaimana cara Dinar menjelaskan kepada para petugas itu bahwasanya ia tak sengaja? Bagaimana kalau Dinar ditahan di kantor polisi? Bagaimana kalau ia dituntut ganti rugi, atau yang paling buruk adalah dirinya ditahan di dalam rutan sampai melahirkan.
Membayangkannya saja Dinar sudah histeris memeluk diri sendiri.
"Dinar buka!" Teriak Pram dari luar.
Mendengar suara yang begitu familiar di telinganya, dunia yang gelap sontak berubah penuh cahaya. Dinar mengangkat wajahnya yang sembab berantakan seraya menghadap kaca di mana suaminya berada.
Dinar membuka kunci pintu, membiarkan Pram masuk.
"Mas aku tak--
"Turun!" Seru Pram dingin. Ia tak membalas tatapan istrinya dengan luluh, melainkan sirat penuh perhitungan.
Dinar baru saja mau memeluk Pram ketika melihat perlakuan dingin pria itu padanya. Oke, ia telah berbuat salah dan sekarang dalam masalah.
Hebat sekali.
Dinar pun turun dan ternyata Pram sudah menyiapkan sebuah mobil untuk mereka tumpangi.
"Masuk!" Pinta Pram tak ingin didebat.
Menelan ludah, Dinar yang diselimuti rasa takut pun kini mematuhi saja. Sementara Pram, pria itu berlalu menemui petugas polisi yang ada kemudian berbincang entah apa, Dinar hanya bisa memperhatikan dari kaca mobil belakang yang ia tumpangi sekarang.
Matanya kemudian beralih pada mobil sang suami yang agak miring karena salah satu bannya terjerembab. Dinar menggigit ujung bibirnya, menduga jika suaminya pasti akan sangat marah dengannya.
Pram menuntaskan pembicaraannya kepada polisi, sebelum kemudian memutuskan untuk masuk ke mobil sedan hitam milik temannya. Meski tubuhnya sudah berada di balik kemudi, Dinar tak juga diberi tatapan memuji.
Dinar menelan ludah, merasa canggung dan takut di saat yang bersamaan. Bagaimanapun, ia masih begitu trauma. Hanya karena seekor tikus, ia ditimpa dua masalah sekaligus. Kecelakaan dan didiamkan suaminya sendiri. Untuk yang kedua, itu yang paling menyakitkan menurut Dinar.
Oke, apa yang telah ia perbuat memang tidak bisa ditoleransi, sebab itu Dinar tak pantas mengharapkan belas kasih.
Setibanya mereka di rumah, Dinar langsung berhambur ke kamar, membawa tubuh dan perasaannya untuk beristirahat.
Waktu semakin larut malam, Dinar hanya sempat beribadah dan kembali menempeli kasur tanpa mau repot-repot memastikan apakah anak dan suaminya sudah makan atau belum.
Pram hanya masuk kamar guna mengganti baju, kemudian keluar lagi.
Tepat pukul sebelas malam, Dinar akhirnya keluar kamar juga karena perutnya tidak bisa diajak kompromi di kala sedang lapar. Kemungkinan besar Pram tidak di rumah melainkan mengurus mobilnya, karena sejak tadi Pram belum juga tidur di kamar.
Dinar baru saja ingin ke dapur ketika mendapati orang yang setengah mati dihindarinya itu ternyata sedang asik makan sendiri di meja makan.
Salahnya lagi, tatapan mereka beradu. Dinar memutar langkah cepat, tidak jadi lapar. Kenyang mendadak.
"Mau kemana, Bun?" Pram sedikit mengeraskan suara hendak menghentikan langkah istrinya. Sayang sekali Dinar sudah keburu berlalu.
Dinar duduk di tepian ranjang, berdecak pelan. Ia ingin makan, tapi Pram ada di sana! Lantas bagaimana ini? Kalau dia tak makan, bayinya akan kelaparan. Itu sungguh tak adil. Dinar yang berbuat ceroboh, malah berimbas kepada bayinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
DINAR BINTI DIRHAM (TAMAT LENGKAP)
RomansDinar tahu Pram adalah pria yang baik. Tapi predikat baik saja tidak cukup untuk membangun sebuah kehidupan rumah tangga bersama sampai menua. *** Ada dua hal yang Dinar benci di dunia ini. Anak-anak dan pernikahan. Ditinggal pergi oleh Papi dari...