"Gak usah sok dekat sok asik deh kamu, Mas. Aku meluk kamu tadi bukan berarti aku maafin kamu, ya. Ogah banget! Kamu tuh udah kasarin aku," ujar Dinar di tengah lahapnya menghabisi satu buah semangka kuning yang sangat manis juga buah manggis yang dibelikan Pram entah di mana.
Pram menopang dagu, hanya dengan melihat Dinar makan ia bisa ikut kenyang. "Maaf, Bun. Ayah kelepasan," ringis Pram mengingat kembali perkataannya yang sadis untuk telinga-telinga sensitif seperti Dinar, mengedepankan latar belakang wanita itu yang tak sempurna.
Pram takut Sila berpenampilan terlalu mencolok seperti Vaniya, juga tak suka Dinar membela apa yang Sila lakukan. Dengan alasan itu, keluarlah kata-kata setajam bilah bambu yang seketika menggores relung perasan Dinar. Itulah kenapa Pram juga malas terlalu banyak bicara ketika sedang tersulut emosi negatif, karena semua hal buruk akan bersarang di ujung lidahnya untuk diserapahkan. Malangnya lagi, Pram beristrikan seorang perempuan yang suka memancing emosi dan tidak akan puas kalau Pram belum marah. Setibanya marah, yang memancing malah menciut dan lari berpaling.
Kan lucu!
"Gak akan aku maafin sebelum Mas pijitin punggungku," Dinar mengibaskan rambutnya kepanasan. Sebenarnya ia hanya masih menjunjung tinggi egonya sendiri, karena memalukan sekali ia tadi sampai kelupaan kalau tengah merajuk dengan Pram dan berujung memeluk serta membongkar rahasia besarnya.
Pram terkekeh kecil, sekarang berada di belakang punggung istrinya dan mulai memijat dengan lembut.
Dinar mengulum senyum, masih berambisi menghabiskan satu buah semangka lagi. Perempuan itu sudah menduga kalau sebentar lagi ia pasti akan bolak-balik kamar mandi untuk buang air kecil.
Hampir setengah jam Pram memijat punggung Dinar, tapi perempuan itu tak kunjung ingin menyudahinya. Karena kebas, Pram akhirnya menyerah, memilih menyandarkan dagunya di bahu Dinar seraya memeluk wanita itu.
"Maaf," ulangnya sekali lagi, merasa ia begitu bajingan kemarin malam.
Dinar membersihkan tangannya dengan tisu, "mulutmu kasar, Mas. Aku maafin tapi kalau diingat masih sakit," jujur Dinar.
Pram meninggalkan satu kecupan di bahu istrinya. "Maaf, suamimu ini benar-benar kelepasan, Dhiajeng," tulus Pram.
"Jangan diulangi lagi,"
"Dan jangan kamu memancing saya lagi," Pram menuntut janji karena ia hanya manusia biasa yang bisa salah dan tak luput dari khilaf. Kekurangannya adalah mulutnya sarkas kalau gelap mata, olehnya itu ia selalu menghindar dari Dinar saat dirasa ia sudah benar-benar naik pitam.
"Aku gak mancing!" Dinar membela diri.
"Ya, kamu memancing,"
"Enggak!"
"Apa kita akan bertengkar di hari pertama kita baikan?" Tanya Pram, tertawa geli.
"Kamu ngeselin, Mas," Dinar mencubit paha Pram dengan sadis. Gemas sendiri. Kenapa pria itu gampang sekali mengambil hatinya? Harusnya Dinar memperpanjang adegan melankolis yang sangat dramatis itu.
Ah tapi sudah lah. Toh Dinar tidak jadi menanggung malu karena berhambur ke dalam pelukan Pram lebih dulu. Buktinya, suaminya itu masih mengemis maaf dengannya.
"Sejak kapan kamu tahu?" Tanya Pram.
"Apa?"
"Kamu hamil,"
Kemudian Dinar ber'oh'. "Kemarin lusa. Paginya aku iseng-iseng aja nyoba, ternyata iya. Aku sebenernya mau kasih kejutan pas kamu pulang, eh tahu-tahunya kamu pulangnya malah ngamuk dan buat aku lupa sama kejutannya. Yaudah," kata Dinar seadanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
DINAR BINTI DIRHAM (TAMAT LENGKAP)
RomantizmDinar tahu Pram adalah pria yang baik. Tapi predikat baik saja tidak cukup untuk membangun sebuah kehidupan rumah tangga bersama sampai menua. *** Ada dua hal yang Dinar benci di dunia ini. Anak-anak dan pernikahan. Ditinggal pergi oleh Papi dari...