Dinar bernapas lega setelah melepaskan semua atribut pernikahan di tubuhnya. Sudah tiga hari, semoga saja tidak ada acara lainnya lagi karena ia sudah benar-benar lelah fisik menghadapi dua acara resepsi yang berbeda. Tamu berdatangan tidak ada habisnya, Dinar sampai terheran-heran. Bahkan seusai acara pun masih ada tamu yang berkunjung ke rumah utama untuk mengucapkan selamat dan mendoakan pengantin baru.
Sebenarnya itu semua wajar, Pram memiliki banyak rekan bisnis yang kemarin tidak sempat menghadiri pernikahan di kediaman Dinar dan akhirnya dapat memenuhi undangan hari ini.
Pram memiliki lingkar pertemanan yang luas, tidak seperti Dinar yang hanya terfokus pada tiga temannya saja dari dulu sampai sekarang. Bagi Dinar, teman adalah beban yang harus dibatasi. Sementara Pram beranggapan bahwa teman adalah aset yang harus terus diekspansi.
Dinar naik ke atas pembaringan, meluruskan tubuhnya yang sudah lama duduk berdiri berkali-kali. Perempuan itu tidur terlentang, menghadap langit-langit kamar. Pram sudah berganti baju sejak tadi, seperti biasa pria tidak pernah ribet dalam berpakaian. Tidak seperti Dinar yang membutuhkan waktu sejam lebih untuk melepaskan semua dari tubuhnya.
Dinar teringat semalam sempat terbangun dan mendapati tangan Pram di atas perutnya. Memang sih, mereka sudah tidur seranjang sejak malam pengantin, tapi benar-benar tidak ada kontak fisik yang terjadi selain karena Dinar menjaga jarak dengan suaminya.
Ada rasa takut dengan Pram, tubuh pria itu yang gagah besar seolah akan menenggelamkan Dinar di dalamnya. Hubungan keduanya pun belum bisa dikatakan baik. Dinar banyak menghindar di saat-saat berdua.
Dinar menoleh ke arah pintu di mana seorang gadis belia berdiri malu-malu memegang nampan berisi makanan dan perabot makan.
"Ehm, maaf ... tante, Sila pikir ada Ayah di sini," sesal Sila, menunduk malu karena ternyata tidak ada Pram di dalam sana. Ia sebenarnya ingin membawakan makanan sesuai permintaan Uni, panggilan untuk neneknya. Namun, yang didapatinya hanya Dinar seorang, sehingga Sila malu dan merasa canggung terlanjur masuk ke dalam kamar.
Dinar bangun dari tidurnya, diliriknya anak itu. Ah, Sila. Mereka bahkan belum pernah bertegur sapa lantaran Dinar begitu terpalingkan oleh dirinya sendiri dan acara yang melelahkan ini.
"Itu apa?" Tanya Dinar basa-basi, menunjuk nampan yang dibawa Sila.
"Engh, ini ... disuruh Uni bawakan makan buat tante sama Ayah," jawab Sila malu-malu.
"Oh ... simpan di sini saja kalau begitu," Dinar bangkit membereskan printilan tak jelas di atas meja, meminta Sila meletakkan nampan di atas sana.
Sekiranya Dinar, Sila akan langsung keluar setelah itu. Namun ternyata Sila masih berdiri di sebelahnya, memperhatikan wajah wanita yang sudah resmi menjadi ibu sambungnya itu.
Dinar seketika diserang rasa canggung. Untuk informasi saja, Dinar adalah tipe perempuan yang agak cuek dengan orang baru. Dinar jarang mau memulai pembicaraan dengan orang yang tidak ia kenal. Ia khawatir kalau menegur duluan akan dikira sok kenal, sok asik. Tapi kalau diam menunggu ditegur duluan pasti akan dikira sombong.
Dinar dan keserba salahannya. Mungkin itu juga alasan kenapa sirkulasi pertemanannya itu-itu saja, tidak berkembang. Terlanjur nyaman dengan sesuatu, akan sulit mencari atau mengeksplor yang lain.
Sila menggigit bibirnya, dengan ragu-ragu mengulurkan telapak tangan kepada Dinar. "I-ini ... Sila, tante. Anaknya ... Ayah Pram," ujar Sila, memperkenalkan dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
DINAR BINTI DIRHAM (TAMAT LENGKAP)
RomanceDinar tahu Pram adalah pria yang baik. Tapi predikat baik saja tidak cukup untuk membangun sebuah kehidupan rumah tangga bersama sampai menua. *** Ada dua hal yang Dinar benci di dunia ini. Anak-anak dan pernikahan. Ditinggal pergi oleh Papi dari...