Semenjak hamil, mandi pagi adalah kesukaan Dinar. Meski ia tak lagi pergi ke kantor seperti dulu, rutinitas paginya tetap berjalan lancar. Dinar selalu tampil cantik dan wangi di setiap saat. Rambut panjangnya akan di-styling seperti seorang sultana, daster kebanggaan semua ibu-ibu juga selalu menjadi pilihan Dinar dengan motif yang lebih modern.
Dinar tahu, ia telat bangun. Kekesalannya pada Pram belum menemukan muaranya, untuk sementara ini Dinar masih cuek bebek bahkan ketika pria itu sudah pulang dari mengantarkan Sila ke sekolah.
Dinar keluar dari kamar kekuasaannya, berdecak sebal karena pagi ini ia harus membereskan kekacauan kemarin atau Pram akan mengomentari betapa Dinar telah mengacak-acak dapur sesukanya.
"Sudah bangun, hm?" Pram ternyata sudah ada di ruang makan, menyapanya dengan senyum yang sangat menawan. Sungguh, meski usia Pram tidak lagi muda, tapi sosok karismatik pria itu semakin membara saja. Kadang Dinar meradang membayangkan bagaimana jadinya kalau dulu ia bersikukuh menolak pernikahan dengan Pram. Mungkin Pram akan menikahi gadis cantik lainnya, atau bahkan yang paling buruk adalah pria itu akan kembali ke pelukan si ratu drama, mantan tercinta.
Ugh, sudah cukup bagi Dinar untuk menyadari betapa beruntungnya ia mendapati Pram. Selain pemikirannya yang jauh lebih matang, Pram juga selalu bisa menangani emosinya agar tidak meledak-ledak. Padahal, Dinar sadar betapa ia selalu memancing pria itu untuk menyemburkan amarahnya. Kalau Dinar dihadapkan dengan pria lain yang mungkin agak kekanakan, Dinar pasti sudah akan makan hati. Mengingat tidak semua orang bisa kompromi dengan sifatnya yang plin-plan dan mudah tersulut seperti yang ada pada pembawaan wanita itu.
Dinar berlagak cuek, melewati Pram begitu saja menuju dapur kotor. Perempuan hamil itu menautkan alisnya, menemukan dapur yang sudah bersih dan rapi. Box organizer berisi bekas alat masaknya kemarin pun sudah tidak ada di sana.
Dinar merasa Pram berada di belakangnya, dengan gaya merajuknya, Dinar membuka kulkas. Gengsinya terlalu tinggi untuk berterima kasih karena sudah membereskan kekacauan yang ia ciptakan di dapur.
"Mencari apa? Ayo sarapan dulu, saya sudah masak buat kamu," Pram memecah isi otak Dinar yang awut-awutan sedari tadi.
Memasak? Pria itu memasak untuknya?
"Ayo," Pram tidak menunggu respon istrinya yang terlalu lama, pria itu menarik tangan Dinar meninggalkan dapur.
Dinar nyaris melotot menemukan kue kering buatannya disajikan di atas meja bersama dua cangkir teh panas. Dan lagi, kue itu sudah tidak utuh, sudah banyak berkurang. Apa pria itu membuangnya? Cepat-cepat ia menghadap Pram, kepalanya sudah diserang terlalu banyak prasangka.
Pram terkekeh kecil, menarik kursi dan memaksa istrinya untuk duduk di sana selagi ia mengambilkan makan.
"Semalam saya terbangun, haus. Waktu ke sini, saya lihat ada yang janggal. Kok warna gordennya berubah, terus ada lampu-lampu kayak di restoran itu. Di lantai ada kelopak bunga, tong sampah juga ternyata ada mawar malang, saya pikir Sila sedang merayakan sesuatu. Saya iseng buka kulkas, gak disangka ada banyak makanan. Ya sudah, saya makan," Pram menjelaskan sepotong kejadian tadi malam.
Dinar membuang muka, malu. Harusnya ia injak-injak saja bunga mawar itu hingga letoy tak berguna, paling tidak Pram tidak akan mengenali kalau di rumah ini ada wanita yang sedang ingin makan malam romantis tetapi digagalkan.
"Jangan cemberut begitu, ini nasi gorengnya masih hangat lho," Pram duduk di sebelah Dinar, merangkum wajah istrinya kemudian tertawa melihat betapa masam wanita itu pagi ini.
Dinar menepis tangan Pram, segera menyuapkan sesendok besar nasi goreng ke dalam mulutnya.
"Maaf, kemarin saya lupa kalau kamu mau buat acara makan malam--
KAMU SEDANG MEMBACA
DINAR BINTI DIRHAM (TAMAT LENGKAP)
RomantizmDinar tahu Pram adalah pria yang baik. Tapi predikat baik saja tidak cukup untuk membangun sebuah kehidupan rumah tangga bersama sampai menua. *** Ada dua hal yang Dinar benci di dunia ini. Anak-anak dan pernikahan. Ditinggal pergi oleh Papi dari...