"Dinar!" Pram melempar tasnya ke sembarang arah, tidak memperdulikan ada laptop di dalamnya. Pria itu berjalan cepat menghampiri sang putra yang menangis di lantai dengan wajah yang membiru saking histeris menangis, sementara sang ibunda malah asik tertidur.
Hebat sekali Bunda Dinar ini ya.
Napas Pram saling beradu, membawa Akhtar ke dalam gendongan. Jantungnya nyaris copot. Dipikirnya, ketika mendengar suara tangisan bayi tiga belas bulan itu dari depan teras, Akhtar sedang rewel seperti biasa. Tapi apa yang didapatinya ketika membuka pintu adalah Dinar yang tengah menari dalam dunia bawah sadarnya sementara sang anak sudah menggelinding ke lantai. Apalagi, kasur mereka hampir setinggi paha orang dewasa.
"Shhh, mana yang sakit toh, Cah Bagus," mata pram berkaca-kaca karena tangis Akhtar tak kunjung reda. Wajah pucat pasi putranya benar-benar membuat Pram ketakutan. Diusapnya punggung Akhtar, berharap membantu mengurangi rasa sakit. Pria itu tak pernah ada di situasi ini.
Mata Pram menajam mendapati Dinar yang baru menggeliat dari tidurnya. Wanita itu mengucek mata, mengumpulkan nyawa di sela suara tangis Akhtar yang mulai memenuhi gendang pendengarannya.
Pram berdiri mondar-mandir dengan menggendong Akhtar. Sesekali menepuk pantat bayi itu agar tenang.
Dinar dengan mata setengah watt-nya kemudian duduk, masih belum memahami apa yang terjadi. "Mas sudah pulang?" Tanyanya dengan suara serak.
"Kowe ki kenopo toh? Piye carane bisa turu sementara anake nangis kenceng begini?" Sembur Pram tak tahan. Emosinya tersulut bercampur rasa panik di tengah berisiknya tangisan Akhtar.
Dinar kemudian memekakkan mata, bingung. "Kanapa Mas pulang langsung marah-marah, sih?" Tanya perempuan itu, sebal.
"Saya ndak akan marah-marah kalau kamu ndak sembrono begini! Lihat ini anakmu menangis, jatuh dari ranjang sementara kamu masih enakan tidur. Piye to, Dhiajeng?" Pram membuang napas, sudah menjadi orang tua tetapi Dinar masih tidak bisa sedikit lebih dewasa.
"Hah, iyakah," mengerjap, sejurus kemudian Dinar langsung membawa sang putra ke gendongannya, mengecek Akhtar apakah terluka.
"Shh, maaf. Yang mana yang sakit?" Dinar memeriksa tubuh Akhtar dari kepala sampai kaki dan memang ada biru di bahunya entah mungkin tertumbuk sesuatu.
"Nen ya, gapapa. Anak lanang berani ya," Dinar dengan santai membuka sletingan dasternya, membiarkan putranya menyusu. Benar saja, ketika bibir Akhtar bergesekan dengan puting sang bunda, mau sesakit apapun itu, tangisannya akan langsung teredam oleh air susu Dinar. Semburat merah mulai mengisi kepucatan di wajah Akhtar.
Pram berkacak pinggang, pusing sendiri. "Kowe pancen pinter nggawe bojomu ngamok," ujar pria itu, menekan suaranya agar lebih rendah sementara kepalanya menengadah ke atas.
Dinar cemberut. "Aku gak sengaja, Mas,"
"Terlalu banyak ketidak sengajaan bisa jadi karena kamu memang tidak pernah hati-hati," Pram melonggarkan dasinya sebelum menghilang di balik kamar mandi.
Dikatai seperti itu membuat Dinar ikut marah. Apa-apaan Pram itu? Dinar kan sudah mengaku salah. Lagi pula wajar saja ia tertidur setelah seharian mengurus rumah dan anak. Memangnya hanya Pram yang boleh lelah?
Dinar memberengut kesal, tak terima Pram memarahinya. Dengan alasan itulah, Dinar melangkah keluar kamar membawa Akhtar ke kamar bayi. Biarkan saja Pram mengurus dirinya sendiri!
Menjelang malam, dengan menggendong buah hati tercinta, Dinar mulai memasak. Dinar tak ingin mengeluh dengan pekerjaan rumah tangga pada Pram, meski sebenarnya ia ingin.
Jika disuruh memilih, sejujurnya menjadi wanita kantoran tidak semelelahkan ini. Kalau ibu rumah tangga lebih dibebani tenaga dan kemampuan mendidik, sementara wanita karir kebanyakan dibebani dengan pekerjaan yang melibatkan pikiran. Sama saja, sih sebenarnya. Yang satu lelah fisik, satunya lagi lelah mental.
KAMU SEDANG MEMBACA
DINAR BINTI DIRHAM (TAMAT LENGKAP)
RomanceDinar tahu Pram adalah pria yang baik. Tapi predikat baik saja tidak cukup untuk membangun sebuah kehidupan rumah tangga bersama sampai menua. *** Ada dua hal yang Dinar benci di dunia ini. Anak-anak dan pernikahan. Ditinggal pergi oleh Papi dari...