Kalo love language nya Cakka itu act of service, bisa nebak kalo Raka apa?😂
Wira mah udah gak usah ditanya. Dibabat abis sama dia semua wkwk
---
"Lo gila ya?!"
Raka langsung tertawa.
"Inget kalo lo yang menang gak boleh nolak permintaan yang menang?"
Bianca langsung mengumpat pelan. Perlahan gadis itu mendekatkan wajah sebelum mengecup pipi kiri Raka dengan pelan, lembut dan teramat cepat.
Ketika gadis itu akan menarik diri, Raka dengan cepat menahan dan membawa gadis itu masuk dalam pelukannya.
"Jangan gerak!"titahnya.
"Kenapa sih mas? Aneh banget! Lo kesambet setan Cikole ya?!"
Raka tersenyum lebar. Dengan santai cowok itu mengecup puncak kepala Bianca yang kini tampak semakin pusing dengan kelakuannya.
"Sebentar lagi. Lo bikin diri lo senyaman mungkin kayak lo meluk gue sepanjang jalan dimobil semalam,"
Mendengar ucapan Raka mau tak mau membuat Bianca meringis kecil. Tadinya gadis itu mau berterima kasih sekaligus minta maaf karena bersikap kurang ajar pada Raka ketika di mobil.
Tapi karena menatap wajah Raka yang menyebalkan, keinginan itu menguap begitu saja. Bianca memutuskan untuk pura-pura lupa saja soal kejadian memalukan itu.
Dan mengingat kelakuan Raka sekarang, sepertinya Bianca tidak perlu meminta maaf apalagi berterima kasih pada cowok sableng satu ini.
"Sorry, gue boleh ngobrol sebentar? Berdua sama Raka?"
Here we go~~
Raka lalu melepaskan pelukan tetapi tidak membiarkan Bianca menjauh. Tangan cowok itu masih melingkar dipinggang gadis itu.
Bianca yang kaget langsung menatap Lika yang baru saja menyelamatkannya dari kelakuan aneh Raka. Tapi ketika jemari Raka terasa melingkari pinggangnya lebih erat, gadis itu sadar bahwa yang dilakukannya barusan mungkin untuk mengalihkan Lika yang sepertinya justru tidak berhasil.
"Lo ganggu sih,"celutuk Raka santai. Tangannya lalu terangkat untuk mengelus pipi Bianca yang kini justru merasa serba salah.
"Ngobrol dulu aja,"
Keinginannya untuk kabur tentu tidak dibiarkan begitu saja oleh Raka.
"Well, karena Bianca kayaknya gak masalah, lo boleh ngomong disini aja. Toh dia juga nanti tau dari cerita gue,"
Lika tampak memucat mendengar ucapan Raka. Tapi langkahnya tak surut juga, dengan ragu ia memilih untuk duduk di kursi yang berseberangan dengan Raka dan Bianca.
"Raka, gue mau minta maaf..."
"Gue kan udah bilang kalo semua itu gak guna. Daripada ngabisin tenaga buat hal yang gak penting dan bertahan disini, mendingan lo balik aja,"
Bianca langsung melayangkan cubitan pada lengannya. Pertanda tidak setuju dengan usiran Raka.
Raka yang memang lebih tertarik menggoda Bianca langsung mengambil kesempatan itu untuk kembali mencuri ciuman pada telinga gadis itu sebelum membisikkan hal-hal aneh yang membuat Bianca tertawa kecil.
"Raka?!"
Raka lalu menghela napas kasar. Tangannya langsung terlepas dari tubuh Bia dan mengepal dengan kuat.
"Mau lo apa sih?! Bisa gak lo gak usah muncul aja di hidup gue lagi?!"
"Gue minta maaf. Gue tau gue salah, tapi tolong..."
Raka langsung beranjak dari duduknya. Matanya menatap Lika dengan nyalang. Saling menatap dengan sorot yang saling bertolak belakang.
"Memangnya maaf lo bisa bikin bokap gue yang mati bangkit lagi?! Maaf lo bisa bikin Juna hidup lagi?!"
Lika langsung menatapnya tak percaya.
"Berhenti ngelihat gue dengan sorot menyedihkan itu. Akan lebih gampang kalo lo tetap natap gue kayak lo hancurin sahabat-sahabat gue!"
Lika baru saja akan mendekat untuk menyerangnya, tapi Bianca langsung meraih tubuh Raka untuk ia peluk erat-erat.
"Take a breath, Raka."bisiknya pelan.
Beberapa langkah kaki terdengar berlarian. Belum sempat ia melihat siapa saja yang menghampiri mereka saat ini, tahu-tahu Bianca menggenggam jemarinya lalu menariknya berlari dari sana.
Raka tidak tahu. Dengan sendal jepit dan genggaman hangat tangan Bianca ia kembali diajak berlarian. Kali ini bukan lagi menuruni puluhan anak tangga, tapi menembus kabut pagi dengan udara sejuk menusuk kulit mereka.
Sekali lagi. Raka bersyukur Bianca kembal mengajaknya kabur.
---
"Gue pernah dikasih tahu kalo rasa marah hanya akan menghancurkan kita pelan-pelan."
Raka menoleh pada Bianca yang sekarang berjalan pelan disampingnya. Setelah hampir tiga puluh menit berlarian, keduanya lalu memutuskan untuk kembali ke penginapan dengan berjalan santai.
"Tapi dua kalo lo ngajak gue lari waktu lagi marah,"
Bianca cemberut.
"Kan cara mengeluarkan marah bisa dengan cara lain."
"Maksud lo dengan lari begini?"
Bianca mengangguk kecil. "Biasanya kalo gue lagi marah gue bakal lari sampe capek. Sampe ngos-ngosan. Kalo udah capek kan kita enggak punya tenaga lagi buat marah. Abis itu lupa, ilang deh marahnya,"
"Tapi gue gak lupa. Rasa marah ini gak hilang walaupun udah bertahun-tahun,"
"Terus apa yang bikin lo lupa?"
Raka langsung terdiam. Matanya lalu menatap Bianca yang selangkah lebih dulu dihadapannya.
"Lo gak bisa lupa atau lo gak mau lupa?"
Pertanyaan itu juga tidak mampu ia jawab. Bianca yang tahu Raka tidak mampu menjawab lalu berbalik badan. Ia melangkahkan kaki untuk mendekat pada Raka.
Ia mengambil kedua tangan cowok itu ia lingkarkan ditubuhnya sendiri. Bianca lalu mengangkat tangan untuk melingkari bahu Raka walaupun ia harus berjinjit.
"Kalo lari gak bikin lo lega, semoga satu pelukan bisa membantu,"
Raka lalu mengeratkan pelukannya ketika Bianca membisikkan kata-kata menenangkan. Sisi lain gadis itu yang baru ia temukan hari ini.
"Banyak hal yang terjadi diluar kuasa kita, tapi jangan bikin diri lo hancur hanya karena perasaan ini. Perasaan negatif yang harusnya enggak perlu kita jaga,"
Raka tidak menjawab. Wajahnya terbenam dileher gadis itu. Aroma yang menguar dari tubuh Bianca membuatnya menjadi tenang. Menenangkan gejolak amarah yang tadi menggelegar di dadanya.
Kali ini Bianca double combo membuatnya terkejut. Mengejutkan namun menenangkan.
"Bi?"
"Hmm?"
"Permintaan kedua gue,"
"Astaga! Lo ini dikasih hati malah minta jantung, ya!"
---
Love
--aku
KAMU SEDANG MEMBACA
Musim Yang Baik [FIN]
Chick-LitJIka menjadi baik tidak cukup membuat hidupnya tenang JIka berkelana bertahun-tahun justru membuatnya semakin kosong Bagian mana yang masih kurang dari usahanya memaafkan? Semua orang berkata bahwa waktu sepuluh tahun sudak lebih dari cukup Tapi men...